Thursday, June 19, 2008

Buku; Islam dan Barat - Membangun Paradigma Global


Judul Buku : Islam dan Barat - Membangun Paradigma Global
Penulis : Zainal Abidin
Diterbitkan Secara Indie Oleh Cafe Lib


MENCARI SEBUAH DUNIA YANG ADIL

Sejarah merupakan saksi pada kenyataan bahwa sebagian besar kekerasan, pemberontakan dan peperangan terjadi karena yang lebih kuat mengingkari keadilan bagi yang kurang kuat baik itu diingkari pada tingkat individu, nasional dan dunia. Di masa sekarang perdamaian dunia tidak dapat bertahan tanpa keadilan dalam semua lapisan kehidupan yang meliputi keadilan sosial, politik dan ekonomi, baik itu di level masyarakat maupun di level dunia.

Ancaman besar yang akan menceraiberaikan umat manusia kini dan masa yang akan datang adalah persoalan kemiskinan. Saat ini nyata-nyata terjadi ketimpangan besar dalam hal distribusi kekayaan yang dikuasasi oleh segelintir elit, korporasi dan negara yang berada di negara-negara Barat yang maju. Ketimpangan distribusi kekayaan ini merupakan ancaman terbesar bagi masa depan umat manusia. Jurang inilah yang menyebabkan gejolak sosial besar dan kekacauan politik sepanjang masa. Kini jurang antara kaum kaya dan miskin memiliki dimensi baru yang berpotensi lebih berbahaya. Saat gelombang pasang globalisasi menciptakan dunia tanpa perbatasan, kaum kaya dan miskin muncul sebagai entitas global yang tidak lagi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dalam negeri. Misalnya, kekayaan kaum kaya global didukung tingkatan tertentu oleh perusahaan-perusahaan besar dunia. Sementara kesengsaraan kaum miskin global setidaknya hingga tingkat tertentu disebabkan oleh rezim perdagangan dunia dan arus keluar masuk investasi asing.

Dalam lima puluh tahun terakhir, kemiskinan telah mengalami penurunan drastis dibanding dalam lima ratus tahun sebelumnya. Dan dalam beberapa hal, hampir semua negara telah mengalami penurunan kemiskinan. Namun kemiskinan absolut tetap menjadi masalah besar yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21. Sepertiga populasi dunia hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari. Sebanyak 515 juta jiwa di Asia Selatan hidup dalam kemiskinan absolut, 220 juta jiwa di Afrika Sub-Sahara, dan 110 juta di Amerika Latin dan Karibia.

Meski upaya untuk menghapuskan kemiskinan absolut harus ditingkatkan, kemiskinan relatiflah yang mengancam menceraiberaikan umat manusia pada abad ke-21. Sebenarnya perbedaan yang memisahkan kaum kaya dan miskin telah menjadi semakin menonjol dalam tahun-tahun belakangan. Misalnya pada tahun 1960, 20 % penduduk dunia yang hidup di negara-negara terkaya memiliki pendapatan tiga puluh kali lipat dari kaum miskin yang berada di kelompok 20% terbawah. Pada tahun 1982 angka itu sudah mencapai 82 kali lipat. Akibatnya kekayaan terpusat di sedikit orang. Menurut Human Development Report 1998 yang dikeluarkan United Development Program (UNDP), dua ratus dua puluh lima orang terkaya di dunia memiliki gabungan kekayaan lebih dari satu triliun dolar. Ini setara dengan pendapatan tahunan kaum termiskin yang mencapai 47% populasi dunia (2, 5 miliar jiwa). Tiga orang terkaya memiliki aset yang melebihi total PDB Afrika Sub-Sahara. Kekayaan 32 orang terkaya di dunia mengalahkan PDB Asia Selatan.

Penumpukan kekayaan dan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat bukan hanya sebuah fenomena global. Kaum terkaya yang mencapai 10 % populasi menerima 54 % pendapatan nasional pada 1960, dan meningkat menjadi menjadi 63 % pada 1955. Bahkan dalam perekonomian industri, kesenjangan pendapatan tampak makin mencolok. Di Inggris, pada awal 70-an, kaum terkaya yang mencapai 10 % populasi memiliki penghasilan tiga kali lebih tinggi daripada kaum termiskin yang berada di 10 % terbawah. Pada akhir 90-an, angka itu menjadi empat kali lebih tinggi. Sementara itu, distribusi kekayaan juga menjadi semakin tidak merata selama dua puluh tahun terakhir. Pada tahun 1996, 1 % penduduk memiliki 20 % kekayaan, yaitu sekitar 388 miliar poundsterling. Lebih dari setengah total kekayaan dikuasai oleh 10% populasi, dan 93% dipegang oleh setengah penduduk.

Selain itu, di negara-negara miskin dan berkembang seringkali kesalahan alokasi sumber daya akibat kesalahan penetapan prioritas dipastikan merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan absolut. Misalnya di Asia Selatan menghabiskan 15 miliar dolar untuk militer pada tahun 1995. Jumlah tersebut melebihi biaya tahunan yang dibutuhkan untuk gizi dan kesehatan dasar di seluruh dunia. Negara-negara Sub-Sahara membelanjakan delapan miliar, kurang lebih sama dengan perkiraan biaya tahunan untuk mencapai akses universal ke sanitasi dan air bersih di semua negara berkembang. Lalu Asia Timur menghabiskan 51 miliar, sembilan kali lipat jumlah tahunan yang dibutuhkan untuk memastikan pendidikan dasar bagi semua orang.

Di negara-negara berkembang di antaranya negara-negara Muslim, seringkali akar penetapan prioritas yang salah ini adalah kepentingan pihak yang mencegah penghapusan kemiskinan. Karena elit yang memetik manfaat secara langsung atau tidak langsung dari pengutamaan belanja militer, atau proyek bergengsi, atau bisnis raksasa, kaum miskin terpinggirkan. Mereka bahkan semakin terpinggirkan saat ruang untuk mengungkapkan kepedihan publik dibatasi oleh struktur politik yang otoriter. Seringkali, yang membunuh harapan kaum miskin untuk memperoleh keadilan dalam masyarakat semacam itu adalah korupsi yang merajalela. Sebab korupsi menguntungkan kaum kaya dan merugikan kaum miskin.

Ketidakadilan ini menyebabkan sebagian masyarakat, baik secara lokal, nasional, maupun internasional tidak terlindungi, dan tidak terpulihkan hak-hak fundamentalnya ketika terdapat kekuatan lain mengancam eksistensinya. Ketidakadilan melahirkan depresi, ketidakberdayaan dan keputusasaan yang selanjutnya membentuk kondisi psiko-sosial bagi bersemainya gerakan-gerakan fundamentalis radikal. Radikalisme merupakan ekses dari persoalan-persoalan tersebut di atas. Faktor-faktor dalam dan luar tersebut telah melahirkan mentalitas terancam pada sebagian kalangan Muslim yang selalu menyalahkan kekuatan luar utamanya Barat.

Di tengah keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kemarahan tersebut, membangkitkan dorongan untuk memperoleh kejayaan masa lalu sebagai cara untuk menjaga harapan, kepercayaan, dan kesehatan jiwa. Kejayaan masa silam ini meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi bagi kelompok fundamentalis radikal yang membenci Barat. Semua kondisi-kondisi psikologis, kultural, ekonomi, dan politik yang dialami oleh sebagian besar kalangan Islam sebagai konflik, penderitaan, yang tidak tertahankan dan sangat eksplosif ini melahirkan keyakinan bahwa Barat yang dikomandoi Amerika Serikat bermaksud menghancurkan Islam. Barat, utamanya Amerika dianggap telah melakukan kekeliruan yang menyedihkan yang mengakibatkan hancurnya kehidupan kaum Muslim dan pengebirian atas hak-hak fundamental mereka.

Untuk memberikan justifikasi aksi-aksi kekerasan, kaum Muslimin yang tertindas mencari acuan spiritual dalam agama bagi upaya mempertahankan diri. Di sinilah agama memainkan fungsi sebagai kekuatan ideologi. Untuk menjelaskan mengapa agama mampu menjadi kekuatan ideologi antara lain adalah kegagalan elit-elit sekuler di berbagai belahan dunia Islam untuk menerapkan hukum, memberikan solusi bagi kemandekan sosial, dan penegakkan keadilan. Sebaliknya agama mewakili paham yang mengilhami keadilan dan kemurnian moral. Selama berabad-abad hal itu membuat agama memiliki kekuatan menggiurkan yang unik.


Monday, June 16, 2008

Buton Tengah dan Tantangan Proses Pemekaran

Oleh : Amien Sagapulu
Ketua Umum Himpunan Pelajar Mahasiswa (HIMA) GULAMASTA MAKASSAR,

Seiring diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tampak nuansa kebebasan dan kebersamaan semakin berimplikasi pada proses perpolitikan di negeri ini khususnya di tingkat daerah. Desentralisasi dan demokrasi yang dimaksimalkan melalui undang-undang akhirnya menghasilkan kosenkuensi-kasenkuensi perpolitikan secara nasional.

Otonomi Daerah merupakan salah satu bentuk konsekuensi desentralisasi kedaerahan yang memiliki korelasi antara pemerintahan pusat dan daerah dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI) khususnya pemerintahan daerah. Otonomi daerah merupakan pemberian atau penghargaan pemerintah kepada masyarakat dengan membentuk daerah-daerah otonom serta memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sebahagian urusan pemerintahan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah.

Kebijakan otonomi daerah dalam rangka prespektif pendayagunaan aparatur Negara pada hakekatnya adalah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah otonom untuk membangun birokrasi pemerintahannya yang sesuai dengan kebutuhan nyata daerah dan responsive tentang kepentingan masyarakat serta mengembangkan system manajemen dan akuntabilitas aparatur negara.

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang, tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sebagai pilar utama dalam mendorong apakah suatu daerah layak dan tidak dimekarkan untuk mendapat perhatian mengenai adanya jaminan stabiltas perpolitikan dan terciptanya system pemerintahan yang efektif.

Dalam hal ini wacana dan proses pemekaran Buton Tengah dari daerah induk Kab. Buton, sesungguhnya tidak terlepas dari sebuah tujuan yang pasti sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang. Yang paling menjadi alasan fundamen pemekaran Buton Tengah adalah menyangkut rentang kendali pemerintahan. Jarak tempuh yang jauh dari Buton Tengah menuju Ibu Kota Kab. Buton dimana harus melalui jalan darat serta penyeberangan laut dan tidak bersahabatnya kondisi fisik jalan adalah hal yang mengakibatkan pelayanan publik kurang maksimal. Tentu saja, kondisi ini mengarah pada terhambatnya proses dan upaya untuk membangun suatu system dalam perwujudan masyarakat Buton Tengah yang baik. Hal ini terwujud dalam bentuk terhambatnya pembangunan di wilayah Buton Tengah baik pembangunan fisik maupun SDM.

Akan tetapi dalam prosesnya pembekaran Buton Tengah tentu saja menuntut sebuah pengkajian yang mendalam sehingga efektifitas pemekaran bisa terwujud. Cakupan wilayah Buton Tengah yaitu Kec. Gu, Kec. Lakudo, Kec. Mawasangka, Kec. Mawasangka Timur, Kec. Mawasangka Tengah, Kec. Sangia Wambulu dan Kec. Talaga yang disingkat GULAMASTA, tentu saja perlu ditinjau menyangkut semua aspek dan indikator kelayakan sebuah daerah untuk dimekarkan sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007.
Selain itu perhatian dan dukungan seluruh stakeholder perlu dilakukan demi tercapainya sebuah hasil yang baik. Pertimbangan dan analisa pemekaran Buton Tengah dari berbagai perspektif menjadi sebuah keniscayaan. Sehingga selain efektifitas yang terjamin, juga mampu untuk menghilangkan bias-bias negative dari sebuah pemekaran seperti tidak berkembangnya daerah hasil pemekaran atau tidak tercapainya sasaran yang diharapkan.

DISKUSI OTONOMI DAERAH PEMEKARAN BUTON TENGAH yang dilaksanakan pada tanggal 24 Mei di gedung PGI – Makassar yang diadakan oleh HIMPUNAN PELAJAR MAHASISWA GULAMASTA (HIMA GULAMASTA) MAKASSAR telah menjadi sebuah instrument dalam memberikan dukungan terhadap pemekaran GULAMASTA (BUTON TENGAH) dan menciptakan sebuah rekomendasi kepada pihak terkait berdasarkan proyeksi dan telaah yang dilakukan.
Pemekaran Gulamasta pada kenyataannya sudah melalui proses sebagaimana mestinya. Akan tetapi terjadi sebuah riak tentang transaparasi proses yang dimaksud. Tertutupnya pemerintah kabupaten induk dalam proses pengurusan pemekaran GULAMASTA menjadi sebuah kendala yang mengakibatkan proses tersebut menjadi susah diprediksi. Sehingga muncul asumsi di masyarakat tentang proses ini yang hanya sekedar menjadi komoditas elit politik untuk kepentingan pragmatis, tentunya Pemilu 2009.
Selain proses yang menyangkut syarat administrasi, problem kajian tehnis dan fisik kewilayahan menjadi penting untuk dipertanyakan. Dalam hal ini pemerintah dinilai tidak objektif dan rasional dalam melakukannya. Adanya Tim kajian yang dibentuk pemerintah daerah induk dinilai hanya sebagai kamusflase yang dalam kenyataannya tidak pernah sedikitpun melakukan kajian.

Hal ini membawa pada sebuah kekahwatiran tentang gagal dan tidak tercapainya tujuan pemekaran dan bias negative yang berwujud konflik horizontal. Sehingga dalam kesempatan diskusi para pembicara dalam berbagai perspektif telah melakukan telaah kondisi riil dan proyeksi pemekaran Buton Tengah dalam beberapa perspektif. Juga dalam kesempatan silaturahim, muncul aspirasi tentang transparansi oleh pemerintah kabupaten induk serta pencarian upaya solutif terhadap bias negative dan konflik horizontal yang dimungkinkan terjadi.
Klimaksnya, telah tercipta suatu konsesus DUKUNGAN TERHADAP PERCEPATAN PEMEKARAN GULAMASTA (BUTON TENGAH). Serta dalam paparan para pembicara yang dihadirkan yaitu : DR. Ruslin Hadanu, M.Si-Dosen UNPATI, DR. Armin Arsyad, M.Si- Pakar Otonomi Daerah UNHAS, DR. Ir. Sombangan Baja, M.Phil-Guru Besar UNHAS Sistem Informasi Sumberdaya, dan, Drs. Lahibu Tuwu, M.Si-Kepala Bappeda Kab. Buton, telah dihasilkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi terhadap pihak terkait pengambil kebijakan pemekaran yaitu:

Pertama, hasil Kajian dalam aspek teknis yang meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, kemanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, Buton Tengah layak untuk mekar menjadi Kabupaten. Termasuk dalam aspek syarat fisik kewilayahan, Buton tengah telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dalam PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam penentuan lokasi calon ibukota, tentu saja mengacu pada efektifitas dan maksimalitas hasil pemekaran dengan mempertimbangkan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksebilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya (Pasal 12, PP 78 Tahun 2007).

Kedua, sebagaimana diungkapkan Drs. Lahibu Tuwu, M.Si, proses perjuangan dan pengurusan pemekaran Buton Tengah sedang berjalan dan sedemikian mungkin perdebatan—siapa yang berkepentingan di balik ini—dapat dihindari. Karena proses perjuangan dan pengurusan pemekaran tersebut tidak pernah lepas dari kepentingan masyarakat Buton Tengah itu sendiri.

Ketiga, karakter Wilayah Buton Tengah dengan jumlah luas wilayah daratan 954,31 km2 (95.431 ha), Wilayah perairan laut ± 7.000 km2 (700.000 ha), Laut terbuka (Bagian Dari Teluk Bone), Banyak Teluk Kecil dimana Biota Laut Melimpah, Produksi perikanan laut 41.915 ton/tahun (35% prod Kab Buton), Produksi rumput laut 14.000 ton (10% prod Kab. Buton), Garis pantai sangat panjang, Moda Transportasi laut, Budaya kemaritiman penduduk Gulamasta, sangat mendukung proses Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah yang baik.

Keempat, untuk mencapai maksimalnya pengelolaan dan pembangunan daerah pasca pemekaran, maka strateginya adalah bagaimana pengelolaan dan pembangunan daerah tersebut harus dilakukan dari sekarang melalui proses yang transparan dan melibatkan berbagai elemen serta tetap memperhatikan potensi dan kearifan lokal.

Apa yang diharapkan termasuk dari kegiatan ini sebagai bagian dari bentuk aspirasi dan dukungan adalah agar setiap stakeholder dapat saling bahu membahu dalam mengawal proses pemekaran Buton Tengah. Agar pemekaran itu sendiri tidak hanya bertumpu pada gairah elit local yang mendapat dukungan dari orang daerah yang berpengaruh di Jakarta dimana pemekaran itu berarti terciptanya jabatan public baru di daerah. Kemudian kedepan, hasil pemekaran tidak berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan dan hanya membebani APBN sebagaimana banyak daerah hasil pemekaran di Indonesia. Dengan belajar dari berbagai kegagalan yang muncul pada daerah hasil pemekaran, strategi yang paling penting bagi pemekaran daerah adalah mengubah paradigma pemekaran sebagai sarana keserakahan untuk memupuk kekuasaan menjadi sarana untuk meujudkan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan.