Penulis : Zainal Abidin
Diterbitkan Secara Indie Oleh Cafe Lib
Ancaman besar yang akan menceraiberaikan umat manusia kini dan masa yang akan datang adalah persoalan kemiskinan. Saat ini nyata-nyata terjadi ketimpangan besar dalam hal distribusi kekayaan yang dikuasasi oleh segelintir elit, korporasi dan negara yang berada di negara-negara Barat yang maju. Ketimpangan distribusi kekayaan ini merupakan ancaman terbesar bagi masa depan umat manusia. Jurang inilah yang menyebabkan gejolak sosial besar dan kekacauan politik sepanjang masa. Kini jurang antara kaum kaya dan miskin memiliki dimensi baru yang berpotensi lebih berbahaya. Saat gelombang pasang globalisasi menciptakan dunia tanpa perbatasan, kaum kaya dan miskin muncul sebagai entitas global yang tidak lagi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dalam negeri. Misalnya, kekayaan kaum kaya global didukung tingkatan tertentu oleh perusahaan-perusahaan besar dunia. Sementara kesengsaraan kaum miskin global setidaknya hingga tingkat tertentu disebabkan oleh rezim perdagangan dunia dan arus keluar masuk investasi asing.
Dalam lima puluh tahun terakhir, kemiskinan telah mengalami penurunan drastis dibanding dalam lima ratus tahun sebelumnya. Dan dalam beberapa hal, hampir semua negara telah mengalami penurunan kemiskinan. Namun kemiskinan absolut tetap menjadi masalah besar yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21. Sepertiga populasi dunia hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari. Sebanyak 515 juta jiwa di Asia Selatan hidup dalam kemiskinan absolut, 220 juta jiwa di Afrika Sub-Sahara, dan 110 juta di Amerika Latin dan Karibia.
Meski upaya untuk menghapuskan kemiskinan absolut harus ditingkatkan, kemiskinan relatiflah yang mengancam menceraiberaikan umat manusia pada abad ke-21. Sebenarnya perbedaan yang memisahkan kaum kaya dan miskin telah menjadi semakin menonjol dalam tahun-tahun belakangan. Misalnya pada tahun 1960, 20 % penduduk dunia yang hidup di negara-negara terkaya memiliki pendapatan tiga puluh kali lipat dari kaum miskin yang berada di kelompok 20% terbawah. Pada tahun 1982 angka itu sudah mencapai 82 kali lipat. Akibatnya kekayaan terpusat di sedikit orang. Menurut Human Development Report 1998 yang dikeluarkan United Development Program (UNDP), dua ratus dua puluh lima orang terkaya di dunia memiliki gabungan kekayaan lebih dari satu triliun dolar. Ini setara dengan pendapatan tahunan kaum termiskin yang mencapai 47% populasi dunia (2, 5 miliar jiwa). Tiga orang terkaya memiliki aset yang melebihi total PDB Afrika Sub-Sahara. Kekayaan 32 orang terkaya di dunia mengalahkan PDB Asia Selatan.
Penumpukan kekayaan dan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat bukan hanya sebuah fenomena global. Kaum terkaya yang mencapai 10 % populasi menerima 54 % pendapatan nasional pada 1960, dan meningkat menjadi menjadi 63 % pada 1955. Bahkan dalam perekonomian industri, kesenjangan pendapatan tampak makin mencolok. Di Inggris, pada awal 70-an, kaum terkaya yang mencapai 10 % populasi memiliki penghasilan tiga kali lebih tinggi daripada kaum termiskin yang berada di 10 % terbawah. Pada akhir 90-an, angka itu menjadi empat kali lebih tinggi. Sementara itu, distribusi kekayaan juga menjadi semakin tidak merata selama dua puluh tahun terakhir. Pada tahun 1996, 1 % penduduk memiliki 20 % kekayaan, yaitu sekitar 388 miliar poundsterling. Lebih dari setengah total kekayaan dikuasai oleh 10% populasi, dan 93% dipegang oleh setengah penduduk.
Selain itu, di negara-negara miskin dan berkembang seringkali kesalahan alokasi sumber daya akibat kesalahan penetapan prioritas dipastikan merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan absolut. Misalnya di Asia Selatan menghabiskan 15 miliar dolar untuk militer pada tahun 1995. Jumlah tersebut melebihi biaya tahunan yang dibutuhkan untuk gizi dan kesehatan dasar di seluruh dunia. Negara-negara Sub-Sahara membelanjakan delapan miliar, kurang lebih sama dengan perkiraan biaya tahunan untuk mencapai akses universal ke sanitasi dan air bersih di semua negara berkembang. Lalu Asia Timur menghabiskan 51 miliar, sembilan kali lipat jumlah tahunan yang dibutuhkan untuk memastikan pendidikan dasar bagi semua orang.
Di negara-negara berkembang di antaranya negara-negara Muslim, seringkali akar penetapan prioritas yang salah ini adalah kepentingan pihak yang mencegah penghapusan kemiskinan. Karena elit yang memetik manfaat secara langsung atau tidak langsung dari pengutamaan belanja militer, atau proyek bergengsi, atau bisnis raksasa, kaum miskin terpinggirkan. Mereka bahkan semakin terpinggirkan saat ruang untuk mengungkapkan kepedihan publik dibatasi oleh struktur politik yang otoriter. Seringkali, yang membunuh harapan kaum miskin untuk memperoleh keadilan dalam masyarakat semacam itu adalah korupsi yang merajalela. Sebab korupsi menguntungkan kaum kaya dan merugikan kaum miskin.
Ketidakadilan ini menyebabkan sebagian masyarakat, baik secara lokal, nasional, maupun internasional tidak terlindungi, dan tidak terpulihkan hak-hak fundamentalnya ketika terdapat kekuatan lain mengancam eksistensinya. Ketidakadilan melahirkan depresi, ketidakberdayaan dan keputusasaan yang selanjutnya membentuk kondisi psiko-sosial bagi bersemainya gerakan-gerakan fundamentalis radikal. Radikalisme merupakan ekses dari persoalan-persoalan tersebut di atas. Faktor-faktor dalam dan luar tersebut telah melahirkan mentalitas terancam pada sebagian kalangan Muslim yang selalu menyalahkan kekuatan luar utamanya Barat.
Di tengah keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kemarahan tersebut, membangkitkan dorongan untuk memperoleh kejayaan masa lalu sebagai cara untuk menjaga harapan, kepercayaan, dan kesehatan jiwa. Kejayaan masa silam ini meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi bagi kelompok fundamentalis radikal yang membenci Barat. Semua kondisi-kondisi psikologis, kultural, ekonomi, dan politik yang dialami oleh sebagian besar kalangan Islam sebagai konflik, penderitaan, yang tidak tertahankan dan sangat eksplosif ini melahirkan keyakinan bahwa Barat yang dikomandoi Amerika Serikat bermaksud menghancurkan Islam. Barat, utamanya Amerika dianggap telah melakukan kekeliruan yang menyedihkan yang mengakibatkan hancurnya kehidupan kaum Muslim dan pengebirian atas hak-hak fundamental mereka.
Untuk memberikan justifikasi aksi-aksi kekerasan, kaum Muslimin yang tertindas mencari acuan spiritual dalam agama bagi upaya mempertahankan diri. Di sinilah agama memainkan fungsi sebagai kekuatan ideologi. Untuk menjelaskan mengapa agama mampu menjadi kekuatan ideologi antara lain adalah kegagalan elit-elit sekuler di berbagai belahan dunia Islam untuk menerapkan hukum, memberikan solusi bagi kemandekan sosial, dan penegakkan keadilan. Sebaliknya agama mewakili paham yang mengilhami keadilan dan kemurnian moral. Selama berabad-abad hal itu membuat agama memiliki kekuatan menggiurkan yang unik.