Friday, March 2, 2007

Perjuangan Kebangkitan Islam; antara simbol dan nilai-nilai universal

Beberapa dekade terakhir kita menyaksikan gerakan-gerakan pembaharuan Islam pada berbagai kalangan masyarakat. Gerakan-gerakan pembaharuan islam ini sangat jelas kita saksikan terutama pada kalangan masyarakat intelektual yakni mahasiswa. Apa yang menjadi tujuan dari gerakan-gerakan pembaruan tersebut adalah memperjuangkan sebuah keber-islam-an yang “kaffah”, dengan mengidentikannya pada pembentukan lembaga atau pelembagaan islam baik dalam bentuk penerapan syari’at atau penegakkan kembali negara atau Khilafah Islam. Meskipun dalam sedikit hal setiap organisasi pergerakan tersebut memliki ciri khas tersendiri yang menjadikannya berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi keseregaman tentang keyakinan mereka terhadap universalitas dari Islam itu sendiri menjadi hal yang sia-sia untuk diperdebatkan. Apabila dikaji lebih jauh lagi tentang keterikatannya dengan gerakan-gerakan pembaruan ataupun kebangkitan islam tersebut, ajaran islam yang memiliki sifat universal semestinya meniscayakan suatu tingkat dinamisasi yang tinggi dalam merespon realitas yang dihadapinya. Konsep universal dengan keharusan terhadap dinamisasi pada setiap perkembangan zaman inilah yang begitu kontras dengan gerakan-gerakan kebangkitan ataupun pembaharuan keber-islam-an tersebut yang terkadang muncul dalam bentuk dan format yang begitu ekstrim, eksklusif, kaku dan terbelakang. Kondisi ini pun diperparah lagi dengan paradigma normatif dan scriptural yang jelas tak mampu mengalirkan pesan mendasar islam dalam konteks kekinian.

Contoh kecil adalah penyerangan Sekretariat DPP Ahmadiyah beberapa waktu lalu oleh beberapa kelompok massa pembaharuan yang menamakan diri Gerakan Umat Islam Indonesia (GUUI). Mengenai pengatasnamaan umat ini, senada dengan guyonan Gus Dur pada saat Front Pembela Islam (FPI) yang juga mengatasnamakan umat Islam menggugat logo album kelompok band papan atas Dewa, mempermasalahkan eksistensi umat tersebut. Dengan nada agak mengejek Gus Dur bertanya; umat itu dimana sih? atau alamatnya dimana?
Kelompok massa tersebut pada dasarnya hanya memiliki modal penafsiran sepihak atas agama kemudian mereka bertindak semena-mena. Masalah yang paling fatal selanjutnya adalah seyogyanya kalangan-kalangan fundamentalisme radikal tersebut ditopang oleh aparatur negara, akibat yang akan ditimbulkannya akan lebih besar. Padahal menyangkut Ahmadiyah tersebut persoalannya juga terletak pada penafsiran Nash tentang kenabiaan dan kerasulan terakhir. Meskipun demikian, semestinya kelompok-kelompok penyerang tersebut menyadari bahwa Islam begitu sangat jelas mengajarkan kebebasan dalam beragama bahkan untuk tidak beragama sekalipun.

Konsep Pergerakan
Kelompok gerakan-gerakan ini menurut Pradana Boy ZTF dalam Islam Dialektis, adalah kelompok garis keras yang kini mengalamai proliferasi. Kelompok yang utamanya garis keras ini, masih menurut Pradana Boy ZTF, memiliki keber-islam-an kaki lima yang sebenarnya tidak cukup modal untuk “berjualan” islam dan mengklaim barang dagangan mereka sebagai paling laris dan dagangan-dagangan yang menurut mereka telah terkontaminasi bahan-bahan berbau barat, dianggap tidak layak konsumsi.
Tak pelak lagi, otoritarianisme begitu jelas dalam setiap bentuk penafsiran terhadap kitab suci. Paradigma keber-islam-an yang juga diwarnai klaim kebenaran mutlak dan penolakan terhadap eksistensi akal dan filsafat –dalam kelompok pergerakan ini– menghasilkan suatu formulasi hukum statis yang tak mampu berbuat apa-apa ketika dihadapkan pada kondisi zaman yang dinamis. Penolakan terhadap barat yang kadang berhujung pada terorisme inilah yang merupakan rekfleksi dari paradigma keber-islam-an kelompok-kelompok kebangkitan saat ini..

Hal yang perlu di telaah lebih jauh adalah tentang perjuangan kebangkitan Islam yang di contohkan Nabi. Bahwa Nabi telah jelas mencontohkan perjuangan kebangkitan dengan perdamaian dan nilai-nilai moral dan spiritual, serta kebebasan dan cinta kasih yang terkandung dalam Al-Quran. Jika apa yang dicontohkan Nabi tersebut coba dibandingkan dengan perjuangan-perjuangan kelompok garis keras saat ini yang cenderung tidak menyentuh aspek tersebut dan mengarah pada otoritarianisme dan dominasi hegemoni, dapatkah itu dapat dikatakan sebuah perjuangan kebangkitan islam?
Sebenarnya, menurut Chandra Muzaffar dalam Muslim, Dialog dan Teror, yang tercermin sebagai kebangkitan Islam saat ini adalah sebuah pendekatan dan pemahaman mengenai agama yang tumbuh dari budaya kekalahan, ketertaklukan, dan ketertundukan. Selanjutnya Chandra Muzaffat mengatakan; bahwa dua peristiwa kelam yang mengakibatkan keruntuhan peradaban islam yaitu invasi dan penaklukkan bangsa mongol terhadap pusat ilmu pengetahuan yaitu perpustakaan-perpustakaan besar di baghdad dan penjajahan serta hegemoni Barat terhadap negeri-negeri islam telah menyisakan trauma terhadap umat islam.

Pada kenyataan itu, umat Islam menjadi sangat sadar dengan status mereka sebagai orang-orang kalah kemudian berpegang sekuat tenaga terhadap ritual dan symbol sebagai cara mempertahankan identitas. Pendekatan yang lebih kepada symbol daripada nilai-nilai universal dan abadi inilah yang nyata telah diwarisi golongan-golongan kebangkitan islam. Karakteristik lain yang menonjol sekaligus kelemahan mereka juga terletak pada pola gerakannya yang bersifat reaktif. Pola ini membuat mereka terkesan hadir sekadar untuk berbeda dari dan untuk menolak Barat.

Islam dan Nilai
Pada dasarnya, islam sebagai sebuah entitas social selalu menuntut adanya akselerasi yang proporsional dalam setiap perkembangan dan dinamika zaman. Di tengah kenyataan tentang kemajemukan bangsa Indonesia dari segi ras dan agama misalnya, penafsiran tradisional yang ortodoks dan eksklusif terhadap Al-Qur’an yang menghasilkan konsep syari’at dan Negara Islam seperti yang diperjuangkan kebanyakan kalangan-kalangan umat islam saat ini menjadi tidak relevan. Betapa tidak, keberadaan syari’at tersebut adalah hasil formulasi ulama-ulama terdahulu yang berbeda dalam konteks budaya dan politik dengan hari ini. Pun Khilafah Islam yang dalam sejarah penerapannya tidak lepas dari konflik-konflik internal yang membuktikan tidak efektifnya, menjadi tidak realitstis dalam konteks kekinian.

Prinsip-prinsip Islam pada dasarnya tidak hanya didasarkan pada ritual atau spiritual speukalatif. Ini terbukti dengan latar belakang sejarah kehadiran islam yang memunculkan sikap korektif terhadap proses dehumanisasi yaitu penghancuran nilai-nilai kemanusiaan pada zaman jahiliyah.

Pesan islam yang sarat nilai-nilai ini hanya mampu diraih dengan nalar dan tafsir kontekstual yang menyangkut pendekatan hermeneutik terhadap doktrin islam. Jika ini mampu direalisasikan dengan baik, maka nilai-nilai universal Islam yaitu intisari abadi termasuk didalamnya etika moral dan spiritual yang juga ada dalam setiap agama—yang bersama-sama kita yakini otentitas dan kebenarannya tersebut, akan sangat jelas dan nyata terwujud dalam kehidupan. Dan karena islam adalah agama yang pro nilai universal ini, maka dalam penegakkannya umat islam harus bersama kekuatan-kekuatan lain.

Tak pelak lagi bahwa kedamaian seluruh umat manusia lepas dari ciri dan bentuk bagaimanapun, sangat dapat terwujud tanpa harus adanya pelembagaan suatu ajaran agama tertentu. Sejatinya, dalam perjuangan kebangkitan Islam kelompok-kelompok tersebut lebih relevan mengedepankan nilai-nilai universal islam ini daripada pendekatan pada symbol dan ritual yang justru memperjelas batasan-batasan dan sekat-sekat perbedaan—bukan saja dalam lingkup internal Islam tetapi juga pada wilayah eksternal antara islam dan agama lainnya.

Konsep Kepedulian Sosial Bermasyarakat

Oleh : Abdul Khabir Barokah

Untuk dapat memahami pentingnya peningkatan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, secara sistematis terlebih dahulu perlu memahami permasalahan dan urgensinya. Selanjutnya memahami pengertian kepedulian sosial, dimensi sosia kemasyarakatan dan bagaimana prakteknya dalam berbagai kehidupan bermasyarakat.

Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, Artinya hidup menyendiri, tetapi sebagian besar hidupnya saling ketergantungan, yangpada gilirannya tercapainya kondisi keseimbangan relative. Kondisi nyata dalam kehidupan manusia yaitu ada yang kaya – miskin, kuat – lemah, besar – kecil, dll.

Permasalahan dan urgensitas peningkatan kepedulian sosial.

Norma-norma dan tata nilai kepedulian ini semakin berkurang apabila masyarakat itu telah menerima pengaruh budaya barat yang bersifat immaterial dan cenderung berseberangan dengan budaya timur. Masyarakat yang kehilangan rasa kepedulian horizontalnya, akan kehilangan sebagian kemampuannya untuk dapat bersyukur, dan ini berakibat pada penyempitan psikologi dan dapat berubah kea rah ketidakpekaan (insentifitas) manusianya yang akhirnya dapat menghasilkan sistem sosial yang apatis.

Kepedulian sosial merupakan bagian dari ibadah.

Kepedulian sosial merupakan suatu rangkaian ibadah, ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW,dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Tabroni dari Anas bin Malik yang Artinya: Budi pekerti yang luhur adalah termasuk amalan ahli surga.

Selanjutnya kepedulian sosial yang menjadi ibadah itu tidak lepas dari budi pekerti yang luhur/baik sesuai dengan norma-norma agama, adat istiadat serta norma-norma yang diatur oleh UUD/Peraturan Pemerintah. Dalam konteks ini kita harus peka dan proaktif untuk mewujudkan rasa solidaritas kita dengan membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, misalnya bencana alam di NAD dan Sum-ut atau kepedulian kita terhadap masyarakat dalam bidang pendidikan dengan memberikan pengajaran-pengajaran yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas secara umum dan bagi anak turun kita pada khususnya.

Dimensi sosial kemasyarakatan.

Pada intinya ada 3 aspek yang perlu dikembangkan dalam sikap kepedulian sosial horizontal yaitu:

1. aspek sosial (Ruang waktu)

Dlam menjalani kehidupan sosial, manusia senantiasa dibatasi dan dipengaruhi adanya ruang dan waktu, ini juga merupakan suatu bukti nyata keterbatasan manusia yang hakikatnya sebagai makhluk ciptaan. Berkaitan dengan ruang dan waktu ini, maka kehidupan manusia akan dikondisikan oleh pluralisme, yaitu adanya keberagaman ruang dalam kehidupan manusia. Dengan adanya ruang ini, seluruh manusia tidak mungkin berada dalam dua tempat dalam waktu yang sama, maka peran alat komunikasi dan transportasi menjadi sangat penting.

2. aspek kepedulian

Siapa saja yangmenjadi objek/sasaran kepedulian kita..? masyarakat umum tentunya dengan tidak memandang status masyarakat tersebut. Mestinya kita penuhi hati kita dengan pertanyaan “Apa yang dapat kita lakukan untuk masyarakat, apa yang dapat kita lakukan Negara atau Daerah kita?” bukan “apa yang kita dapat dari Negara atau Daerah kita?”.

Melalui peningkatan kepekaan kepeduliaan horizontal ini, seseorang memerlukan kemampuan kepekaan sosial, kapan dan dimana kita harus melakukan action. Kemudian kepekaan, kejadian dan kecepatan untuk memperoleh informasi tentang adanya suatu hal yang memerlukan bantuan kita.

Melalui peningkatan kepekaan kepedulian sosial ini, dihatapkan kesenjangan sosial atau jarak sosial dapat dipersempit, dan kita dapat memberikan kontribusi dalam bentuk upaya perawatan dan peningkatan modal sosial (social capital) bangsa Indonesia dalam tangka menuju kenyamanan dan ketentaraman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.œ

Penulis: Mantan Ketua Majelis Syuro SALIWU Makassar, Alumni Program Studi Manajemen Sumberda Perairan Universitas Hasanuddin

Problematika Pendidikan Dewasa Ini


Oleh: Zainal Abidin


Persoalan pendidika zaman sekarang ini di berbagai negara dipandang sebagai problem yang sangat luar biasa sulit, namun semua negara - tanpa kecuali - mengakui pendidikan sebagai tugas negara yang paling penting. Orang-orang yang ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan dunia tentu menyatakan bahwa pendidikan merupakan kunci, dan tanpa kunci itu usaha mereka akan gagal.
Cara dan sistem pendidikan yang sudah berakar dalam dan bertahan lama sebenarnya membutuhkan penyesuaian sedikit agar dapat berjalan terus dengan lancar. Namun, sekarang cara dan sistem pendidikan ini sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda zaman sekarang ini banyak yang terang-terangan memberontak terhadap metode-metode dan lembaga-lembaga pendidikan lama itu. Dan tidak selalu mudah untuk dapat menentukan dengan tepat berapa besar bagian kegelisahan umum dan ledakan semangat berontak di kalangan generasi muda itu harus dipandang sebagai yang disebabkan oleh alasan tersebut.

Menurut Edgar Faure bahwa sudah menjadi kegelisahan berabad-abad lamanya, bahwa pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat semata-mata. Maksudnya, dalam pendidikan anak didik ditempa secara tidak seimbang, sehingga kelak mereka lebih makin tersedia sebagai “alat yang berguna” bagi masyarakat. Memang keliru jika pendidikan tidak berguna sama sekali bagi kepentingan masyarakat. Tapi sangatlah keliru jika pendidikan memutlakkan kepentingan masyarakat tersebut, sebab tujuan pendidikan bukanlah pertama-tama melayani masyarakat, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang.

Kegelisahan ini merupakan imbas dari pergeseran dalam cara memandang (paradigma) pendidikan. Pergeseran ini setidaknya dapat ditelusuri jauh ketika dimulainya revolusi industri yang merupakan benih-benih dari Renaissance yang melanda Eropa setelah melewati periode gelap abad pertengahan. Masyarakat yang tadinya hidup dalam pola kultur agraris beralih menjadi masyarakat industri seiring dengan semakin vitalnya penguasaan modal. Semua kegiatan dan hasil produksi dianggap memiliki nilai ekonomis tinggi jika itu menyangkut kegiatan produksi yang dihasilkan industri (pabrik). Maka dimulailah era kehidupan kapitalisme menggantikan era kehidupan feodalisme. Sistem yang kapitalistik telah merasuk begitu jauh hingga nyaris tidak ada celah kehidupan manusia yang luput darinya.

Dalam pendidikan pun demikian. Ilmu pengetahuan yang sejalan dengan tujuan di atas diberi prioritas. Disiplin keilmuan yang dianggap terpandang hanyalah disiplin ilmu yang sifatnya teknis terapan sebagai penunjang produksi industri. Implikasinya, terjadilah dikotomi dan sekat keilmuan yang tajam. Ilmu-ilmu positif (eksak) menempati posisi superior dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya. Siswa hanya dianggap memiliki nilai lebih jika siswa tersebut mampu menguasasi ilmu-ilmu pasti. Orang hanya berlomba-lomba memasuki disiplin ilmu yang alasannya masa depan lebih menjanjikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Kita belajar di institusi-institusi pendidikan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang berjalan dalam kerangka logika kapitalisme yakni menghasilkan tenaga pekerja yang mendatangkan nilai ekonomis. Kita kemudian tidak ubahnya seperti robot-robot yang diformat sedemikian rupa tanpa sempat melakukan renungan atau refleksi atas tujuan hidup (eksistensi) kita yang sebenarnya. Kita mungkin sudah lupa atau pura-pura lupa bahwa tujuan pendidikan yang sebenarnya adalah untuk menghasilkan generasi yang dewasa, mandiri dan berkepribadian, yang menjunjung moral dan etika yang kelak dengan bebas dan sadar dapat membantu masyarakat.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk menegasikan sama sekali sistem pendidikan yang telah berjalan. Hanya saja ada sesuatu yang terlupakan dalam sistem pendidikan kita selama ini. Harus ada pemilahan yang tegas antara pendidikan dan pengajaran. Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia sedangkan pengajaran dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga-tenaga terampil. Aspek-aspek yang bersentuhan dengan bakat dan kemampuan personal untuk menemukan kepribadian seharusnya mendapatkan porsi yang berimbang. Jadi, lebih daripada sekedar menghasilkan “kegunaan”, pendidikan juga perlu membantu mereka mengembangkan bakat kemampuan sosialnya agar masyarakat juga boleh ikut memetik keuntungan dari perkembangan mereka. Setiap pribadi punya defisit. Pendidikan adalah suatu proses kompensatoris yang membantu anak didik untuk sedapat-dapatnya menutupi defisit tersebut. Dengan demikian antara anak didik dan pendidik terjadi interaksi dialogis (dua arah) yang akan lebih memacu kreativitas anak didik.

Dalam pendidikan, aspek individual dan personal itu tidak boleh dikorbankan. Kendati demikian, tidaklah berarti bahwa pendidikan boleh membiarkan aspek itu berkembang bebas tanpa ukuran. Karena itu, pendidikan perlu mencegah, jangan sampai kebebasan menjadi kesemauan dan keseenakan sendiri. Janganlah pula kemandirian terbelokkan menjadi egoisme, atau rasa keadilan terjungkir menjadi pembenaran keadilan pribadi. Pula, anak didik perlu dibantu untuk mencintai keteraturan, maksudnya, jangan sampai mereka membenci untuk keteraturan hanya semata-mata karena mereka merasa dipaksa untuk taat pada keteraturan. Dan janganlah pendidikan hanya memberikan peluang agar anak didiknya nanti lebih mampu bersaing dari pada bertindak dengan penuh pertimbangan sosial.

Aspek kemandirian harus pula dikedepankan. Menurut Pramoedya Ananta Toer, peserta didik harus dibekali dengan kemampuan produktif. Kemampuan produktif di sini dalam artian bagaimana peserta didik tersebut ketika kembali ke masyarakat nanti dapat memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya tanpa harus bergantung pada pihak lain atau harus menjadi pegawai di instansi-instansi pemerintah. Ini penting agar ketika menghadapi dialektika (pergulatan) hidup tidak mudah dibelokkan oleh kepentingan sesaat yang hanya membawa kemudaratan.

lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi, ternyata hanya mampu mencetak manusia-manusia tua, bukan manusia-manusia dewasa

Penulis: Sesepuh Cafe Lib, Alumni Program Studi Hubungan Internasional Universitas Hasanudin.