Contoh kecil adalah penyerangan Sekretariat DPP Ahmadiyah beberapa waktu lalu oleh beberapa kelompok massa pembaharuan yang menamakan diri Gerakan Umat Islam Indonesia (GUUI). Mengenai pengatasnamaan umat ini, senada dengan guyonan Gus Dur pada saat Front Pembela Islam (FPI) yang juga mengatasnamakan umat Islam menggugat logo album kelompok band papan atas Dewa, mempermasalahkan eksistensi umat tersebut. Dengan nada agak mengejek Gus Dur bertanya; umat itu dimana sih? atau alamatnya dimana?
Kelompok massa tersebut pada dasarnya hanya memiliki modal penafsiran sepihak atas agama kemudian mereka bertindak semena-mena. Masalah yang paling fatal selanjutnya adalah seyogyanya kalangan-kalangan fundamentalisme radikal tersebut ditopang oleh aparatur negara, akibat yang akan ditimbulkannya akan lebih besar. Padahal menyangkut Ahmadiyah tersebut persoalannya juga terletak pada penafsiran Nash tentang kenabiaan dan kerasulan terakhir. Meskipun demikian, semestinya kelompok-kelompok penyerang tersebut menyadari bahwa Islam begitu sangat jelas mengajarkan kebebasan dalam beragama bahkan untuk tidak beragama sekalipun.
Konsep Pergerakan
Kelompok gerakan-gerakan ini menurut Pradana Boy ZTF dalam Islam Dialektis, adalah kelompok garis keras yang kini mengalamai proliferasi. Kelompok yang utamanya garis keras ini, masih menurut Pradana Boy ZTF, memiliki keber-islam-an kaki lima yang sebenarnya tidak cukup modal untuk “berjualan” islam dan mengklaim barang dagangan mereka sebagai paling laris dan dagangan-dagangan yang menurut mereka telah terkontaminasi bahan-bahan berbau barat, dianggap tidak layak konsumsi.
Tak pelak lagi, otoritarianisme begitu jelas dalam setiap bentuk penafsiran terhadap kitab suci. Paradigma keber-islam-an yang juga diwarnai klaim kebenaran mutlak dan penolakan terhadap eksistensi akal dan filsafat –dalam kelompok pergerakan ini– menghasilkan suatu formulasi hukum statis yang tak mampu berbuat apa-apa ketika dihadapkan pada kondisi zaman yang dinamis. Penolakan terhadap barat yang kadang berhujung pada terorisme inilah yang merupakan rekfleksi dari paradigma keber-islam-an kelompok-kelompok kebangkitan saat ini..
Hal yang perlu di telaah lebih jauh adalah tentang perjuangan kebangkitan Islam yang di contohkan Nabi. Bahwa Nabi telah jelas mencontohkan perjuangan kebangkitan dengan perdamaian dan nilai-nilai moral dan spiritual, serta kebebasan dan cinta kasih yang terkandung dalam Al-Quran. Jika apa yang dicontohkan Nabi tersebut coba dibandingkan dengan perjuangan-perjuangan kelompok garis keras saat ini yang cenderung tidak menyentuh aspek tersebut dan mengarah pada otoritarianisme dan dominasi hegemoni, dapatkah itu dapat dikatakan sebuah perjuangan kebangkitan islam?
Sebenarnya, menurut Chandra Muzaffar dalam Muslim, Dialog dan Teror, yang tercermin sebagai kebangkitan Islam saat ini adalah sebuah pendekatan dan pemahaman mengenai agama yang tumbuh dari budaya kekalahan, ketertaklukan, dan ketertundukan. Selanjutnya Chandra Muzaffat mengatakan; bahwa dua peristiwa kelam yang mengakibatkan keruntuhan peradaban islam yaitu invasi dan penaklukkan bangsa mongol terhadap pusat ilmu pengetahuan yaitu perpustakaan-perpustakaan besar di baghdad dan penjajahan serta hegemoni Barat terhadap negeri-negeri islam telah menyisakan trauma terhadap umat islam.
Pada kenyataan itu, umat Islam menjadi sangat sadar dengan status mereka sebagai orang-orang kalah kemudian berpegang sekuat tenaga terhadap ritual dan symbol sebagai cara mempertahankan identitas. Pendekatan yang lebih kepada symbol daripada nilai-nilai universal dan abadi inilah yang nyata telah diwarisi golongan-golongan kebangkitan islam. Karakteristik lain yang menonjol sekaligus kelemahan mereka juga terletak pada pola gerakannya yang bersifat reaktif. Pola ini membuat mereka terkesan hadir sekadar untuk berbeda dari dan untuk menolak Barat.
Islam dan Nilai
Pada dasarnya, islam sebagai sebuah entitas social selalu menuntut adanya akselerasi yang proporsional dalam setiap perkembangan dan dinamika zaman. Di tengah kenyataan tentang kemajemukan bangsa Indonesia dari segi ras dan agama misalnya, penafsiran tradisional yang ortodoks dan eksklusif terhadap Al-Qur’an yang menghasilkan konsep syari’at dan Negara Islam seperti yang diperjuangkan kebanyakan kalangan-kalangan umat islam saat ini menjadi tidak relevan. Betapa tidak, keberadaan syari’at tersebut adalah hasil formulasi ulama-ulama terdahulu yang berbeda dalam konteks budaya dan politik dengan hari ini. Pun Khilafah Islam yang dalam sejarah penerapannya tidak lepas dari konflik-konflik internal yang membuktikan tidak efektifnya, menjadi tidak realitstis dalam konteks kekinian.
Prinsip-prinsip Islam pada dasarnya tidak hanya didasarkan pada ritual atau spiritual speukalatif. Ini terbukti dengan latar belakang sejarah kehadiran islam yang memunculkan sikap korektif terhadap proses dehumanisasi yaitu penghancuran nilai-nilai kemanusiaan pada zaman jahiliyah.
Pesan islam yang sarat nilai-nilai ini hanya mampu diraih dengan nalar dan tafsir kontekstual yang menyangkut pendekatan hermeneutik terhadap doktrin islam. Jika ini mampu direalisasikan dengan baik, maka nilai-nilai universal Islam yaitu intisari abadi termasuk didalamnya etika moral dan spiritual yang juga ada dalam setiap agama—yang bersama-sama kita yakini otentitas dan kebenarannya tersebut, akan sangat jelas dan nyata terwujud dalam kehidupan. Dan karena islam adalah agama yang pro nilai universal ini, maka dalam penegakkannya umat islam harus bersama kekuatan-kekuatan lain.
Tak pelak lagi bahwa kedamaian seluruh umat manusia lepas dari ciri dan bentuk bagaimanapun, sangat dapat terwujud tanpa harus adanya pelembagaan suatu ajaran agama tertentu. Sejatinya, dalam perjuangan kebangkitan Islam kelompok-kelompok tersebut lebih relevan mengedepankan nilai-nilai universal islam ini daripada pendekatan pada symbol dan ritual yang justru memperjelas batasan-batasan dan sekat-sekat perbedaan—bukan saja dalam lingkup internal Islam tetapi juga pada wilayah eksternal antara islam dan agama lainnya.