Monday, December 24, 2007

Pluralisme Peradaban

Pluralisme merupakan paham tentang keberagaman dan kemajemukan. Pluralisme adalah sebuah keintelektualan manusia yang mengantarakan pada pola pikir kearah hidup yang lebih heterogen. Seperti meanstrem terhadap perbedaan sebuah ideology, social, politik serta kebudayaan dan agama. Paham plural telah ada sejak keberadaan manusia, dimana manusia memiliki sifat dan tindakan yang beragam tersebut. Sejak Adam di turunkan dimuka bumi dengan diperkenalkan pada berbagai realitas alam sebagai tanda-tanda kehidupan. Ini menandakan bahwa pluralisme bukan lah sesuatu yang baru yang menjadikan manusia akan terbentuk dalam persaingan dan keegoan hidup. Namun pluralisme dalam konteks kekinian memiliki problem terutama dari segi penamaan dan penyikapan terhadapnya.

Pada masa Islam klasik, pluralisme di bahasakan dengan pembahasaan yang lain yaitu Wihdat Al-Adyan (keesaan wujud). Manusia diciptakan dengan beragam jenis dan bentuk serta agama yang berbeda tetapi tetap satu. Kita telah diperlihatkan dengan berbagai bentuk material baik dari segi perbedaan tempat tinggal, suku, budaya sampai pada bangsa, namun kita tetap dalam satu wadah yaitu bumi. Agama telah mengajarkan kita kepada pemahaman yang berbeda baik dari akidah (penyembahan dan pengabdian kepada Nya) maupun akhlak (pola sikap) namun tetap dalam kiblat yang sama kepada wujud yang satu. Hindu dengan penyembahanya kepada dewa, Kristen dengan trinitasnya dan islam dengan ketunggalannya penyembahanan (shadatnya) tetapi tetap satu tujuan yaitu kepada Tuhan Yang Maha Segalanya.

Peradaban adalah suatu bentuk perubahan tatanan menuju sebuah kesejahteraan hidup. Kesejahteraan merupakan sesuatu satu hal yang di iming-imingi oleh semua manusia. Baik peradaban dalam bentuk budaya, social maupun politik. Dalam pemaknaan peradaban menjadi perdebatan yang vital antara kelompok fundamentalis agama dan kaum liberalis.
Kelompok Fundamentalis meyakini bahwa wahyu adalah titik manusia menuju pencerahan peradaban. Wahyu merupakan hasil akhir dalam mencari sebuah kebenaran. Dengan demikian untuk mendapatkan sebuah konsep peradaban dalam kehidupan bemasyarakat hanyalah dengan mengembalikanya manusia pada agama sebagai aplikasi pewahyuan untuk pemaknaan terhadap alam. Agama merupakan sesuatu yang di wakyukan oleh Allah kepada manusia untuk menentukan sikap dan pola piker manusia. Islam dengan ayat-ayat yang di kitabkan dalam al-qur’an adalah menjadikan rujukan utama dalam mengolah hidup untuk mencapai sebuah peradaban. Agama dijadikan sebagai pelarian ketika manusia jauh dari sebuah peradaban. Ketika terjadi kemerosotan dan kehancuran serta kerusakan moral bangsa, maka agama menjadi jalan keluar seakan dengan pemahaman bahwa pada saat manusia telah di penuhi dengan berbagai pegentahuan keagamaan menjadikan terbentuknya sebuah peradaban.

Berbeda dengan pemahaman kelompok liberal, manusia memiliki kebebasan dalam memahami peradaban. Sebuah kebenaran terbentuk berangkat dari sebuah pengetahuan manusia. Dengan akalnya, manusia dapat menemukan sebuah pola hidupnya. Sebuah peradaban tidak akan terbentuk hanya dengan sebuah ajaran agama, tetapi bagaimana kita bisa memposisikan agama sebagai bahan untuk mengkaji sebuah realitas. Bukanlah ralitas mengkaji agama tetapi sebaliknya agama mengkaji realitas.
Kalau kita melihat perkembangan peradaban bangsa Buton sekarang ini, maka penulis lebih sepakat dengan kelompok kedua, bahwa peradaban tidak akan tercipta tanpa penyeimbangan kepahaman dalam hal ketuhanan dengan kemanusiaan dan alam. Pengaruh kebobrokan dan kehancuran tidak lagi berangkat dari satu arah. Kebobrokan tidak lagi berangkat dari sebuah kebebasan manusia dan semakin menjauhnya dari tuhanya. Tetapi sebaliknya manusia telah dikungkung dengan satu pahaman dan terikatnya manusia pada kepahaman bahwa Tuhan harus di sembah dengan secara bersama dalam bentuk yang sama. Padahal tuhan menurunkan perbedaan dan kebergaman agar kita dapat berpikir.

Sebagimana ayat yang menjelaskan bahwa “telah kuciptakan laki-laki dan perempuan,dan kujadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa li taarafu (agar kamu berpikir)” yang terjadi sekarang ini pengungkungan pola pikir manusia dengan ajaran kewahyuan. Seakan akal tidak mampu memaknai sebuah wahyu.
Rene Descartes; ”aku berpikir maka aku ada”, tidaklah jauh perbedaan manusia dengan binatang, hanyalah akalnya. “al insaanu haiwanu nautiq” (manusia adalah binatang yang berakal). Manusia dalam hidupnya dapat memanfaatkan pikirannya maka ia telah mendapatkan eksistensi kemanusiaanya, sebaliknya ketika manusia tidak mampu mengolah akalnya dalam hidupnya maka dia kal al-An’am (bagaikan binatang).
Untuk menjadikan masyarakat buton sebagai masyarakat beradab maka ia harus mempergunakan akalnya. Kobobrokan masyarakat intelektual sampai pada masyarkat awam karena di sebabkan adanya keegoan dan keserakahan. Kesenjangan sangatlah jelas terjadi di buton. Mobil Avaza, Toyota, Inova sampai Inovi harus berjalan di setapak-setapak tempat masyarkat dimana dalam keseharianya harus berbanting tulang demi mendapatkan makanan untuk sehari. Gedung menjulang tinggi disekitar rumah-rumah kumuh yang beratapkan langit dan beralaskan bumi. Tidaklah sadar wahai manusia. Tuhan tidak hanya mencoba dengan kesengsaraan tetapi kemewahan adalah sebuah cobaan yang nyata.

Ketika Masyarakat buton kembali sadar akan makna hidup yang tiada lain hanyalah sebuah fatamorgana material. Kehidupan hanyalah sebuah keniscayaan dari kemanusiaan untuk memahami keberadaanya. Peradaban akan terbentuk ketika keniscayaan itu dapat di pahami. Kemajemukan akan tejalin ketika bisa memahami diri dengan realitas sekelilingnya. Alam hanyalah pemeran pembantu untuk bisa memaknai keberadan dan eksistensi. Hanyalah kepluralan yang bisa berkomunikasi dengan keheterogenan masyarakat buton. Peradaban akan tercapai ketika masyarakat memahami sekelilingnya dengan perbedaanya. Diantaranya, sebagai masyarakat yang beragam atau masyarakat heterogen, yang dituntut adalah sejauhmana kita mengimplementasikan nilai-nilai kepedulian dalam sebuah keberagaman. Sikap-sikap kebajikan dapat dilihat dari model kekuasaan, keyakinan dan kepedulian, yang mencerminkan komitmen pada keadilan, cinta, kasih sayang, kejujuran, empati, belas kasih dan solidaritas pada sesama.(ed)

Melepaskan Belenggu Pendidikan

kritik paradigma sekolah dan bersekolah

Beberapa semester mungkin telah kita lalui dan tanpa sadar kita sekarang berada pada semester yang makin tinggi. Orang bilang semakin “maju”, semakin besar pula tantangan yang akan kita hadapi. Dan persoalan yang tak henti-hentinya mengiringi kita adalah komersialisasi pendidikan yang membuat sebagian dari “pemikir-pemikir” mencari cara menyelesaikannya. Yang mengherankan sebenarnya adalah mengapa terkadang kita tidak pernah peduli dengan hal-hal itu. Sebagian dari kita cenderung hanya memikirkan tentang bagaimana cara untuk tampil menarik di depan orang daripada harus memikirkan masalah menyangkut eksistensi mereka sebagai seorang agen moral ataupun agen pembaharu dan agen-agen lainnya.

Kita tidak pernah sadar akan keberadaan diri kita sebagai seorang anak manusia yang memiliki tanggung jawab besar terhadap diri kita, keluarga, masyarakat dan yang lebih penting adalah tanggung jawab terhadap Sang Pencipta. Siapa Aku?, Darimana Aku datang?, Kemana aku akan pergi?, Kepada siapa aku akan percaya?, --pertanyaan-pertanyaan yang sekilas tampak lucu dan mudah-- ternyata merupakan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang membuat orang menjadi “gila” dalam mencari jawabannya.
Salah satu yang menjadi tujuan dari hidup kita sebenarnya adalah ketika kita mampu menjawab semua pertanyaan itu, pertanyaan yang intinya adalah bagaimana kita mendewasakan/memanusiakan diri kita dan bukan membinatangkan diri kita. Hal ini mungkin seperti apa yang menjadi tujuan daripada pendidikan yaitu memanusiakan manusia.

Pertanyaannya adalah apakah sistem pendidikan kita selama ini telah mewujudkan tujuan tersebut?, jawabannya adalah tidak sama sekali. Sekolah dan Perguruan Tinggi (saking tingginya tidak mampu dijangkau masyarakat rendahan) ternyata hanya mampu mencetak manusia-manusia yang tidak pernah menyadari eksistensinya sebagai seorang manusia malah sebaliknya terjadi dehumanisasi. Sekolah dan Perguruan Tinggi ternyata hanya mampu mencetak manusia-manusia tua, bukan manusia-manusia dewasa. Sangat jauh sekali dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan kita pada dasarnya tidak memiliki tujuan yang jelas. Ditambah lagi dengan pola pemikiran dan pemahaman yang telah menjerat peserta didik yaitu Amtoneserisme (paham mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menjadi pegawai atau bekerja). Tidak heran ketika kita melihat bangsa kita selalu jadi bangsa pekerja (dengan TKI-TKI-nya) dan bukan yang mempekerjakan.

Apa yang menjadi tujuan kita harus sekolah/kuliah? Sebagian besar dari kita mungkin akan menjawab bahwa tujuan sekolah/kuliah adalah untuk dapat bekerja. Lalu apa bedanya dengan tukang becak, tanpa sekolah sekalipun mereka dapat bekerja. Atau mungkin yang menjadi tujuan kita sekolah adalah untuk mencari ilmu? Kalau memang tujuan kita sekolah/kuliah adalah untuk mencari ilmu, mengapa kita harus membuang-buang waktu/uang yang banyak untuk mencari ilmu di sekolah. Bukankah tanpa harus sekolah kita bisa mencari dan mendapatkan ilmu apapun, tak terkecuali ilmu Hitam?

Mengapa kita tidak mencoba untuk keluar dari sistem pendidikan yang menindas dan membunuh kreatifitas kita ini. Dan belajar di Sekolah Besar’ Kehidupan’ agar kita bisa menghargai dan menghormati pendapat orang lain, tidak arogan, tidak menang sendiri, tidak mendahulukan kepentingan golongan, tidak selalu mengekor ataupun tidak selalu bangga serta terlena dengan sejarah masa lalu sementara kita sekarang (sadar atau tidak sadar) berada dalam kebodohan dan kedunguan.

Menari Dengan Topeng Agama

Oleh: Sofyan Saliwu

Dunia kontemperorer nyaris tidak bisa lagi dipisahkan dengan nilai-niali dan kehidupan industrial yang kapitalistik. Setiap langkah, tindakan dan kegiatan orang dan kelompok cenderung bersifat profit oriented. Kegiatan agama pun sengaja atau tidak sengaja juga berada dalam bingkai semacam itu.

Fenomena disekitar kita memperlihatkan banyaknya ritual keagamaan mulai istighatsah hingga dzikir akbar bersama yang mengarah kuat dikemas dengan pola-pola yang sarat dengan ukuran layak jual tidaknya acara tersebut bagi masyarakat luas. lihat saja, masyarakat lebih mengidolakan agamawan yang bergaya “selebriti” yang menarik dipanggung pertunjukan ketimbang tokoh yang benar-benar menguasai agama dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.

Media massa terutama elektronik tidak menyia-nyiakan peluang ini. Dari saat ke saat, televisi menayangkan momen-momen keagamaan semacam itu melalui siaran langsung maupun tunda. Dengan pola ini, keuntungan materi mengalir bukan hanya ke kantong agamawan selebriti, tetapi juga kemedia massa elektronik. Masyarakat juga menikmati entertainment religion ini sama seperti mereka menikmati tayangan yang bersifat hiburan lainnya.

Agama Ekshibisionistik

Fenomena itu menyuguhkan kehadiran model keberagamaan yang kendati tidak sama sekali baru, tetapi memilki perbedaan dengan pola-pola sebelumnya. Model keberagamaan ini sering (meskipun tentunya tidak sekali) berimbas pada terjadinya upaya mendulang “emas” dengan mengatasnamakan agama. Pada satu pihak, para Da’I yang lebih menyerupai kaum selebritis entah karena alasan manajemen atau lainnya sering mematok harga cukup mahal untuk bisa hadir disuatu tempat atau tampil didepan kamera.

Dipihak lain, stasuin televisi yang menayangkan ritual tersebut mengalkulasi secara akurat untung rugi peliputan tersebut. Sebagai bagian dari gurita dunia industri yang umumnya berkiblat ke dunia barat yang kapitalistik, stasiun tersebut tentu tidak akan gampang meliputnya apalagi secara live jika hanya mengeruk keuntungan tipis. Industrial agama ini kian lengkap melalui hadirnya event organizer dan sejenisnya yang akan mengatur ritual tersebut menjadi menarik dan layak ditonton.

Sebagai dampak atau bagian dari dunia industri, ritual keagamaan ekshibisionistik sangat tergantung pada kehadiran massa dan penonton yang banyak. Cara menarik orang lalu dikemas sedemikian rupa, misalnya melalui ikalan dengan ungkapan-ungkapan cukup membuai. Orang dan penontonpun datang dengan latar belakang beragam dan bisa belum saling mengenal satu dengan yang lain, serta dengan tujuan yang berbeda. Ada dengan niat datang untuk mencari tuhan (bisa bertemu atau tidak, itu persoalan nanti), ada yang sekedar ingin lari dari kepengapan kehidupan, dan ada juga yang ingin menyambang hidup dengan berjualan disekitar arena “pertunjukan”.

Minimalis

Hadirnya ritual keagamaan tersebut tentu tidak terkait dengan masalah boleh atau tidak boleh, apalagi halal atau haram. Persoalannya lebih merujuk pada ada tidaknya nilai-nilai spritualitas substantive yang terinternalisasi dan kemudian tereksternalisasi kepada “umat” yang melakukan upacara tersebut.

Melihat nuansa entertainment yang begitu kental dan keragaman yang hadir, dimana mereka tidak jarang membawa serta anak-anak mereka yang dibawa umur, sulit dipercaya ritual ekshibisionistik dapat memperkaya spritualitas mereka, apalagi jika dilihat suasan seusai ritual. Koran-koran bekas tempat duduk dibiarkan bertebaran disana sini, dan plastic bekas minuman berserakan. Selesai acara, mereka kembali kekehidupan mereka tanpa abai lagi dengan orang-orang sekitar, dan yang membawa mobil mewah tetap menunjukan keangkuhan mereka. Selebihnya, korupsi tetap marak, dan kebejatan yang lain tetap merajalela.

Ritual memang bukan lagi tata cara yang mengatur suatu praktik (ibadah), tetapi merupakan bagian dari praktik yang terdapat pada semua agama dan diluar agama, yang melibatkan simbol-simbol ekspresif yang intrinsic dengan perasaan diri dan cara hidup suatu komunitas.

Dalam konteks ritual keberagamaan ekshibisionis yang menggejala kuat pada diri sebagian bangsa saat ini, hal itu merupakan penanda bahwa mereka (atau jangan-jangan bangsa ini secara keseluruhan) masih berada pada tataran kehidupan yang lebih mengedepankan simbol dan hal-hal yang bersifat permukaan, dan belum mampu menyentuh hakikat dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. œ

Agama Dan Moralitas Politik

Oleh: Zainal Abidin

Ada ungkapan menggelitik yang dilontarkan oleh maestro sastra Indonesia –Pramoedya Ananta Toer- berkenaan dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Ia mengatakan, banyak ‘pandir-pandir beragama’ dalam masyarakat Indonesia. ‘Pandir’ sinonim dengan kata dungu atau bodoh. Kita boleh tidak setuju dengan apa yang dikatakan Pramoedya, namun apa yang dikatakannya bukannya tidak berdasar. Setidaknya demikianlah realitas yang ada.

Memang kalau diamati secara seksama, fakta membenarkan apa yang dinyatakan Pram di atas. Agama belum menjadi etos dan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Kita beragama hanya pada tataran simbol-simbol, tampilan luar atau atribut semata. Kita menilai kesalehan sejauh mana seseorang rajin menjalankan ibadah ritual seperti sembahyang, berpuasa, atau naik haji. Kesadaran agama hanya dilihat dengan banyaknya atau sejauh mana megahnya mesjid yang dibangun, maraknya majelis taklim dan yang paling naïf, komitmen ketaatan diukur dengan sejauhmana pemakaian simbol semacam jilbab diterapkan, atau berpakaian kearab-araban yang diklaim sebagai cara berpakaian islami atau berjenggot. Padahal Islam tidak ada hubungannya dengan pakaian atau jenggot. Bentuk ketaatan seperti ini hanyalah manifestasi dari apa yang dikatakan oleh intelektual Iran -Abdul Karim Soroush- sebagai kebenaran kecil, yang sebenarnya tidak lepas dari pengaruh kontkes budaya dimana Islam dilahirkan.

Yang dilupakan, sebagai umat beragama atau umat Islam, yang dituntut adalah sejauhmana kita mengimplementasikan nilai-nilai kebajikan yang bersumber dari ajaran etis agama. Sikap-sikap bijak dapat dilihat dari model beragama yang mencerminkan komitmen pada keadilan, cinta, kasih sayang, kejujuran, empati, welas asih, dan solidaritas pada sesama. Nilai-nilai inilah yang menurut terminologi Abdul Karim Soroush disebut sebagai kebenaran besar. Nilai-nilai yang menjadi inti atau pesan dasar Islam dan semua ajaran agama. Inilah yang disebut dengan prinsip-prinsip universal yang melampaui ruang dan waktu. Karena umat banyak mengabaikan nilai-nilai dasar dan universal ini, maka bangsa ini terjebak dalam lingkaran setan krisis yang entah kapan berakhirnya.

Seseorang dianggap menjalankan agama secara otentik jika ia mampu menyeimbangkan antara praktek etika dan pengamalan ritual. Praktek etika terkait dengan hubungan-hubungan sosial. Idealnya, praktek etika mengandaikan komitmen dan kesalehan sosial. Bahkan kalau kita menyelam ke akar-akar tradisi keagamaan kita yang otentik, Islam sangat menekankan nilai-nilai kebenaran dasar ini sebagai pijakan untuk membangun relasi dan pola interaksi dengan sesama. Akhlak mulia sebenarnya lebih berbicara pada tataran sosial dan pola perilaku dengan sesama. Pada individu pribadi, akhlak mulia membuahkan kejujuran, sedangkan dalam wilayah sosial dan publik, akhlak mulia akan mengarahkan seseorang untuk komitmen dengan keadilan. Dengan demikian akhlak mulia meniscayakan komitmen dan kesalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Lalu, adakah komitmen kita terhadap nilai-nilai utama tersebut? Sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai keadilan, cinta, kasih sayang, empati, welas asih, kepedulian, dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan ini sangat relevan jika kita menilik situasi kini. Hanya karena sahwat ekonomi dan politik, kita tidak segan-segan tertawa di atas penderitaan orang lain. Kita tidak mau menerima perbedaan. Kita begitu mudahnya mau membenarkan segala cara untuk mengamankan kepentingan pribadi dengan merugikan orang lain. Tanpa risih sedikitpun kita mengambil hak orang lain secara tidak sah.

Kita dengan telanjang mempertotonkan watak yang sangat rendah. Demi kepentingan pribadi, dengan menggunakan momen suksesi kepemimpinan baik nasional maupun daerah, kita tidak segan-segan melakukan kecurangan, kekerasan, politik yang culas, ancaman serta cara-cara kotor. Mata menjadi gelap dan sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Tidak peduli orang lain jatuh atau menderita. Rasa empati dan kepedulian sudah tergerus nyaris tak berbekas ketika kita dengan darah dingin menjegal pihak lain meskipun teman sendiri. Cara-cara tidak elegan ini hanya mencabik-cabik hubungan silaturrahmi dan memporak-porandakan kohesi masyarakat yang telah dibangun. Sangat menyedihkan, orang-orang yang nampak saleh, hanya membiarkan bahkan menganggapnya sebagai hal biasa.

Sebuah ironi, sikap politik yang tidak dewasa dan cara-cara primitif dipertotonkan oleh orang-orang –yang dalam kaca mata konvensional kita- taat menjalankan ibadah agama. Mungkin disinilah apa yang dikatakan oleh Pramoedya di awal tulisan ini menemukan pembenarannya, betapa banyak “pandir-pandir beragama” di negeri ini. Kita hanya cukup merasa beragama ketika kita rajin shalat atau rajin ke mesjid. Sebentuk ketaatan beragama egoistis yang mengantarkan kita pada kesadaran palsu. Agama disini, seperti kata Lenin, tidak ada bedanya dengan candu karena hanya menjadi tempat pelarian untuk menutupi kekotoran dan kelemahan yang kita lakukan. Agama hanya dijalankan sebatas simbol dan ritual atau hanya menjadi atribut belaka. Umat kebanyakan berislam hanya pada tataran kulit-kulitnya saja.

Apakah kita harus diingatkan terus-menerus apa yang disebut dengan akhlak mulia. Nabi berungkali menegaskan bahwasanya tujuan dari misi kenabiannya adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia dengan pesan dasar menegakkan keadilan dan kepedulian pada orang-orang menderita. Kebenaran kecil tidak apa-apa dikesampingkan demi tegaknya kebenaran besar. Marilah kita kembali ke kesadaran semangat religio etik. Akhirnya, mudah-mudahan kita tidak termasuk apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer “pandir-pandir beragama”. Atau sebenarnya kita memahami, tetapi karena tendensi eknomi politik sempit, kita masa bodoh. Maka jika demikian, kita mengingkari nurani kita. Wallahu ‘alam. œ

Agama, Budaya dan Zaman

Kita adalah manusia beragama, dan agama itu datang dengan seperangkat aturan/norma yang katanya menyangkut seluru aspek kehidupan. Saat aturan atau dalam bahasa para “malaikat” adalah Syari’at, berhadapan dengan sebuah komunitas yang sebelumnya telah memiliki aturan-aturan hidup tersendiri, maka hanya ada dua pilihan yaitu: pertama, merubah/mengganti seluruh aturan/norma hidup sebelumnya dengan aturan agama itu. Kedua, adalah tidak atau menolak penetrasi aturan/norma agama yang kata para “malaikat” adalah ideal. Lepas dari itu semua, realitas aturan/norma berkehidupan kita sekarang adalah hasil dari transformasi agama dalam penetrasinya terhadap aturan/norma kehidupan terdahulu. Saya kemudian menyebut aturan/norma kehidupan sebelumnya itu “budaya”.

Penetrasi agama terhadap budaya menghasilkan suatu aturan hidup yang paling tidak, bisa diterima suatu komunitas. Persoalannya kemudian apakah unifikasi antara budaya dan agama itu mampu menjawab setiap persoalan yang dihadapi komunitas tertentu itu?, atau apakah hal itu akan selalu relevan dengan zaman?
Perkembangan hidup manusia meniscayakan perbedaan setiap problem kehidupan dari waktu ke waktu. Apakah tantangan ataupun masalahnya semakin berat atau semakin ringan, terdapat suatu bentuk masalah yang berbeda yang membutuhkan penyelesaian yang berbeda pula.

Harus diakui, bahwa aturan/norma kita sekarang sudah tidak relevan lagi dengan zaman. Betapa perkembangan nalar manusia mengakibatkan kesadaran akan ketidakrelevanan zaman atas aturan/norma hidup yang telah ada sebelumnya.
Masalah ketidakrelevanan ini kini nyata menjadi perbincangan para tokoh-tokoh agama dan budaya. Dalam hal ini, setiap orang bebas membuat aturan-aturan baru kehidupan selama aturan/norma itu tidak terlalu menyimpang dari aturan/norma sebelumnya. Artinya bahwa rumusan aturan/norma; etika, moral, itu berangkat dari hakikat atau nilai yang satu dan sama dari aturan-aturan sebelumnya. Karena memamang, ketidakrelevanan norma/aturan hidup sekarang adalah bukan pada nilai atau hakikat aturan itu.

Jadi, tidak ada alasan terhadap pelarangan dan pengekangan terhadap sikap, etika, moral individu atas individu lain, apalagi sampai pada pengancaman. Agama dan budaya tidak boleh dijadikan alasan untuk membatasi dan mengekang kebebasan seseorang.

Cermin Pendidikan Kita

Oleh: Firman Muhammad

Pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi setiap warga negara Indonesia kini akan semakin sulit untuk dinikmati oleh golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah karena begitu tingginya tuntutan biaya pendidikan yang harus dipenuhi. Munculnya ide Badan Hukum Pendidikan (BHP) lewat UU No.20 Tahun 2003 pasal 53 yang ditawarkan pemerintah sebagai solusi guna peningkatan kualitas pendidikan dinegeri ini akan semakin mengubur impian mereka (orang miskin) untuk bersekolah di lembaga-lembaga/institusi-institusi berkualitas.

Peningkatan kualitas yang harus ditunjang dengan adanya peningkatan biaya pendidikan tentunya akan menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Karena sebagaimana diketahui bahwa 87% dari masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Perbaikan mutu pendidikan memang perlu dilakukan guna menciptakan sumber daya manusia yang terampil, handal dan berkualitas. Akan tetapi perbaikan tersebut tidak harus mengorbankan masyarakat kurang mampu dengan meningkatkan biaya pendidikan. Sudah semestinya pemerintah juga harus memikirkan kondisi dan tidak mengesampingkan golongan kurang mampu, sebab mereka juga bagian dari tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana kebijakkan negara. Dengan munculnya kebijakkan BHP/meningkatnya biaya pendidikan tentu semakin membuat sebagian masyarakat kecil tidak dapat merasakan manisnya pendidikan.

Penetapan sebuah kebijakkan mestinya harus dilihat dari berbagai sudut pandang, apakah kebijakan tersebut mampu menimbulkan faedah atau hanya menimbulkan banyak mudharat. Jangan sampai kebijakkan-kebijakkan yang dilahirkan hanya atas dasar kepentingan golongan atau oknum-oknum tertentu untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Perlu diingat bahwa nasib bangsa ini sangat ditentukan bagaimana generasi muda mampu berkreatifitas dan bagaimana pendidikan sebagai media pembelajaran dapat dirasakan di seluruh lapisan masyarakat.

Kebebasan bagi setiap masyarakat untuk berkreatifitas telah tertuang dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang telah diamandemen. Disitu dinyatakan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas kehidupan dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat pun telah dikemukakan bahwa “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari statement ini sangat jelas dikemukakan bahwa pendidikan merupakan hak bagi siapa saja.

Menurut Amartya Sein bahwa kemiskinan terjadi bukan karena mereka (orang miskin) tidak memiliki barang melainkan ruang kapabilitas yang kecil. Kapabilitas yang dimaksud adalah bagaimana upaya dan kebebasan untuk memperoleh hidup yang layak dapat berlaku bagi semua orang. dikarenakan mereka tidak bisa melakukan sesuatu.

Dengan mengekang kebebasan mereka (orang miskin) berkreatifitas dan mengembangkan diri, tentunya bangsa ini hanya akan semakin menciptakan dan menyuburkan kemiskinan, kebodohan yang nantinya juga akan berimplikasi pada semakin tertinggalnya bangsa ini dibandingkan bangsa-bangsa yang lain.

Apabila pemerintah memang beritikad baik untuk menjadikan negeri ini lebih maju dan berkembang maka pemerataan kualitas pendidikan harus dilakukan di seluruh pelosok negeri. Setelah itu, barulah perbaikan mutu dapat dilakukan. Jika perbaikan mutu memang akan dilakukan. Pertanyaannya kemudian apakah pendidikan di negeri ini telah cukup merata…? Jangan sampai peningkatan kualitas dan kecerdasan hanya berlaku bagi mereka-mereka yang kebetulan terlahir dari keluarga mampu (kaya). Lantas bagaimana dengan masyarakat kecil (kurang mampu)…???? Tidakkah cukup pantaskah mereka mengenyam pendidikan seperti yang lain….???!!

Kelahiran-kelahiran kebijakkan haruslah berlandaskan pada norma-norma kesetaraan dan keadilan karena bangsa ini merupakan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan seperti yang tercantum pada Pancasila sila ke-5 “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Andaikata peningkatan biaya pendidikan menjadi suatu keharusan yang tak terelakkan lagi nantinya, maka harus ada jaminan atas peningkatan kualitas/mutu pendidikan di negeri ini. Di samping itu pemerintah pun harus tetap selalu memperhatikan kondisi masyarakat kecil dengan lebih meningkatkan pemberian bantuan bagi siswa ataupun mahasiswa kurang mampu dan berprestasi.

Pengawasan alokasi dana bantuan itu sendiripun harus lebih diperhatikan jangan sampai adanya penyalahgunaan dana atau pemberian kepada mereka yang tidak berhak menerimanya. Perbaikan dan pengadaan fasilitas-fasilitas pembelajaran pun harus lebih ditingkatkan, perbaikan kualitas dari pengajar harus lebih ditekankan karena keberhasilan dari siswa/mahasiswa selain bergantung dari siswa/mahasiswa juga bergantung dari bagaimana pengajar mampu mentransfer ilmu yang dimilikinya ke siswa / mahasiswanya serta keprofesionalisme-an dalam menjalankan tugas harus lebih dijunjung tinggi, perbaikan kurikulum pendidikan, penciptaan nuansa pembelajaran yang kondusif dan kompetitif dalam setiap pembelajaran dapat juga menjadi metode pendidikan yang berkualitas karena dengan begitu semangat akan senantiasa ada.

Dan yang tak kalah pentingnya dari semua itu adalah bagaimana pemerintah lebih mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ke sektor pendidikan. Seperti apa yang telah dilakukan oleh negara-negara tetangga kita : Malaysia yang menganggarkan sekitar 40-50% atau negara Jepang yang mencapai hingga 60%. System pendidikan dinegara ini perlu lebih banyak bercermin agar nantinya tidak disebut latah dalam penetapan setiap kebijakan-kebijakannya. Œ

Robohnya Kesalehan Sosial


Oleh: Sofyan Saliwu

Suatu metafora kesalehan, yang diratapi bukan bangunan fisik tatapi “suatu kesucian yang bakal roboh.“ Kesalehan yang dimaksud bukan kesalehan individual yang ditandai dengan kesalehan ritual agama melainkan kesalehan social.

Alkisah, Tuhan diakhirat sedang memeriksa antrean yang panjang orang-orang yang sudah meninggal. Giliran Saleh diperiksa. Ia tersenyum merasa yakin masuk surga. Ketika ditanya apa saja yang dilakukannya selama hidup, ia menjawab dengan lancar. Menyembah Tuhan dan menyebut Nama-Nya, membaca kitab suci, memiliki pengetahuan iman, menjalankan rukun agama, tidak berbuat dosa.

Ketika ditanya lagi apa saja yang dilakukannya selain itu, Saleh merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun tak ada lagi yang bisa dikatakannya. Mengherankan lagi, ketika orang yang lain yang lebih saleh dari dirinya ternyata bernasib sama.

Tak pelak terjadi kasak-kusuk diantara orang-orang yang dinerakakan itu. Mereka tidak puas dengan vonis itu. Standar penghakiman Tuhan dianggap tidak jelas. Lalu, mereka memberanikan diri menghadap Tuhan untuk minta penjelasan.

“Dimana kalian tinggal?” Tuhan bertanya

“Di Indonesia”

“negeri yang tanahnya subur, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya raya itu ?”

‘Benar, Tuhan…”

“Tetapi penduduknya banyak melarat ? Negeri yang selalu kacau karena kalian suka berkelahi, sementara kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?”

“Benar, Tuhan, kami tidak peduli dengan kekayaan alam kami. Yang penting, kami menyembah dan memuji-Mu.”

“Engkau rela tetap melarat? Juga anak cucumum ikut melarat?

“Tidak apa-apa, Tuhan, asal mereka taat beragama.“

“Meski ajaran agama itu tidak masuk dihati ?”

“Masuk dihati, Tuhan.”

“kalau masuk dihati, mengapa kalian membiarkan diri tetap melarat sehingga anak cucu kalian teraniaya, kekayaan alam diambil orang lain untuk anak cucu mereka? Mengapa kalian lebih suka saling menipu dan memeras? Aku beri kalian negeri yang kaya, namun kalian malas dan tidak suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadah. Kalian kira Aku mabuk pujian atau suka disembah?

Semua terdiam dan tahulah mereka kini apa yang diridhoi Allah.

Masih penasaran, Saleh bertanya, “Apakah salah menyembah-Mu, tuhan ?”

“Tidak salah.tetapi kesalahan terbesar adalah terlalu mementingkan diri. Kau taat sembahyang karena takut masuk neraka. Kau melupakan kehidupan anak istrimu dan kaummu sehingga mereka tetap melarat.

Reifikasi Kesalehan

Manivestasi keimanan sering terkungkung visi tempat ibadah. Potensi ekonomi umat di investasikan untuk bangunan yang tersusun dari batu-batu mati, bukan batu-batu hidup, yakni umat yang saleh. Maka, salah satu obsesi kesalehan umat di negeri yang bersila ketuhanan ini adalah membangun tempat ibadah, kalau perlu, megah. Demi kemuliaan Tuhan, katanya. Hidup saleh seolah-olah harus berbiaya tinggi. Bulan februari lalu, wakil presiden jusuf kalla meresmikan enam proyek milik pemerintah Kalimantan Timur. Dari anggaran pendapatan dan belanja daerah 2007 yang berjumlah Rp 4,258 triliun, tiga proyek bendungan pengendali banjir bernilai Rp 86,916 miliar. Namun, sebuah pusat kegiatan keagamaan dibangun dengan biaya Rp 550 miliar, hamper 13 % dari anggaran pendapatan belanja daerah.

Komentar serius Wakil Presiden saat itu, paling yang hadir sembahyang pagi 30 orang, tapi bangunannya setengah triliun. “Dana sebesar itu seyogyanya bisa dimanfaatkan langsung untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memperbaiki gedung sekolah yang roboh, untuk membangun sekolah kejuruan, membangun rumah sakit, memberikan pembekalan kepada para santri dengan keterampilan hidup mandiri atau memulai usaha kecil.

Indonesia tergolong peringkat atas sebagai Negara terkorup di Asia, namun tak tampak korelasi antara peningkatan kesalehan dan berkurangnya korupsi. Energi umat sering dihamburkan untuk membela agama dan reifikasi kesalehan. Jika energi itu disalurkan untuk memerangi korupsi, kemiskinan dan kebodohan, niscaya peringkat Indonesia dimata dunia akan jauh lebih baik.

Reorientasi Kesalehan

Mengapa modal social yang begitu besar tidak mendorong kemajuan dan peradaban bangsa? Jawabannya adalah ketiadaan visi kesalehan social. Kesalehan terhenti pada tataran individual dan berfungsi sebatas penentu identitas kerlompak. Kesalehan hanya berorientasi dunia akhirat dan ketenangan batin. Kesalehan seperti itu sudah dijinakkan dan tidak berbahaya bagi status quo.

Perlu transformasi sebagian energi kesalehan manjadi amunisi kritik social. Itulah agama profetis. Agama yang berpihak pada yang lemah dan tertindas. Agama yang membuat pejabat korup merasa tidak nyaman. Kesalehan social memupuk daya kritis dan daya juang umat. Rakyat akan geram melihat korupsi, dari pada berkolaborasi dengan penguasa, pemuka agama menjaga jarak agar masih bisa menegur penguasa ketika saleh.

Meskinya kebangkitan agama-agama di tanah air diikuti orientasi kesalehan yang baru. Agama transformative dan yang membebaskan. Itu sebuah modal social yang besar untuk bangkit dari keterpurukan. Jangan sampai kesalehan yang berkembang malah melemahkan motivasi umat untuk mengupayakan kesejahteraan di dunia. Lari dari dunia nyata membuat agama bagai candu masyarakat.

Orientasi baru kesalehan akan ikut memberi solusi bagi problem social sebab kesalehan itu membangun etos kerja. Kita akan menjadi bangsa yang dihormati dan didengar suaranya, jika produktivitas bangsa meningkat dan perekonomian kuat. Kehormatan bangsa dibangun diatas kesalehan social. œ

Fenomena Fundamentalisme di Kalangan Mahasiswa

Oleh: Zainal Abidin

Pendahuluan

Hingga saat ini fundamentalisme masih menjadi perbicangan hangat di berbagai kalangan. Istilah ini sebenarnya bukan barang baru dalam diskursus keagamaan dan politik global. Istilah fundamentalisme pertama kali muncul di kalangan penganut Kristen (Protestan) di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-an. Namun secara faktual, sebagai kenyataan global, fundamentalisme muncul pada semua keyakinan sebagai respon atas masalah-masalah yang dimunculkan modernisme.

Tak terkecuali Islam, paham ini telah berkembang luas di berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Gerakan fundamentalisme sebenarnya tidak muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap modernisme yang dinilai telah keluar terlalu jauh, akan tetapi lahir seiring dengan ditempuhnya cara ekstrim ketika jalan moderat dianggap tidak membantu.

Di kalangan Islam muncul beberapa gerakan yang berwatak fundamentalis. Paham ini juga banyak ditemukan dalam gerakan-gerakan kaum muda terpelajar dan mahasiswa Islam. Gerakan fundamentalisme di kalangan mahasiswa direpresentasikan dengan munculnya organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan gerakan-gerakan lainnya yang mengusung formalisme keagamaan. Gerakan-gerakan ini memiliki daya resonansi dan popularitas yang cukup mengagumkan. Karena kuatnya ruh Islam yang diusung, gerakan-gerakan ini memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan mahasiswa di kampus-kampus besar. Karena itu penting untuk mengetahui gerakan-gerakan ini. Selain KAMMI, masih ada lagi gerakan mahasiswa fundamentalis lainnya, diantaranya gerakan Hizbut At-Tahrir yang sekarang mengkristal dalam Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan), dan gerakan Salafy.

Tulisan ini mencoba mengeksplorasi munculnya gerakan-gerakan fundamentalis di kampus dengan lebih banyak menekankan pembahasan pada gejala fundamentalisme sebagai gerakan ideologi politik dalam hubungannya dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam negeri dan luar negeri. Namun, agar tidak terkesan menafikan bahwa gejala fundamentalisme lahir sebagai respon terhadap modernisme seperti dikemukakan di awal tulisan ini, penulis juga akan memaparkan pengaruh modernisme terhadap kehidupan kampus, dan bagaimana pergulatan teologis gerakan-gerakan mahasiswa Islam dalam menyikapinya. Untuk itu pembahasan akan dimulai dengan melihat sepintas bagaimana respon gerakan-gerakan mahasiswa Islam bernuansa fundamentalis terhadap arus modernisme dalam kaitannya dengan identitas keislaman mereka. Pembahasan selanjutnya akan mengulas kebangkitan fundamentalisme Islam sebagai fenomena global dalam kaitannya dengan ekonomi politik domestik dan global, dari sini penulis berupaya mengurai benang merah antara situasi politik domestik dan global dan munculnya gerakan-gerakan fundamentalisme di kalangan mahasiswa Islam. Tulisan ini akan ditutup dengan catatan kritis atas fenomena fundamentalisme yang menguat di kalangan mahasiswa belakangan ini.

Modernisme dan Identitas Keislaman Mahasiswa

Kebangkitan Fundamentalisme agama yang bersifat global dan dramatis mengagetkan banyak kalangan. Ada semacam pandangan, bahwa revitalisasi agama dianggap mustahil, karena nasib agama dalam dunia modern diperkirakan akan cenderung ke arah sekularisasi atau privatisasi. Menurut mitos modernisasi, masa depan agama menawarkan sejumlah pilihan, namun kebangkitannya tidaklah sebagai kekuatan politik dan identitas sosial.

Para ilmuwan sosial menggunakan beberapa cara untuk menjelaskan fenomena ini. Ernest Gellner, misalnya, menolak ekspektasi mereka terhadap modernisasi dan sekularisasi yang telah gagal menjelaskan meluasnya gerakan fundamentalisme agama belakangan ini. Ia melihat kebangkitan agama di negara-negara berkembang sebagai proses modernisasi yang sedang berlangsung. Namun pendekatan Gellner ini tidak mampu menjelaskan semangat “puritanisme” dalam gerakan-gerakan fundamentalis.

Penjelasan berbeda dikemukakan oleh Talcott Parsons. Ia mengatakan bahwa masyarakat modern tidak otomatis menjadi sekuler, tetapi malah semakin menyerap nilai-nilai agama. Kendati bentuk-bentuk keagamaannya mungkin tidak tampak, tapi moralitas keagamaan secara mendasar membentuk masyarakat. Lebih jauh, Oliver Roy menyimpulkan bahwa fundamentalisme bukan sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisasi.

Modernisasi dengan anak kandungnya, sekularisme, bagi sementara kalangan Muslim merupakan salah satu bentuk ‘imperialisme kultural”. Kalangan muslim ini melihat modernisasi dan modernisme yang muncul di banyak kawasan dunia Muslim sejak akhir abad ke-18 melalui ekspansi militer dan penetrasi budaya Eropa merupakan proyek Barat yang tidak hanya untuk memaksakan peradaban mereka terhadap Dunia Muslim, tetapi bahkan lebih jauh lagi untuk menyingkirkan pengaruh Islam dari berbagai aspek kehidupan, karena modernisasi hanya akan menghasilkan sekularisasi dan sekularisme. Kehidupan modern yang sekuler dianggap sebagai biang kerusakan moral umat Islam. Perjudian, pelacuran, obat-obatan dan minuman keras serta pergaulan muda-mudi yang permisif adalah produk kehidupan modern yang tak lain adalah hasil pengaruh Barat.

Dalam konteks ini gerakan fundamentalis saat ini dapat dibaca sebagai pencarian identitas, otentisitas, dan komunitas sebagai respon terhadap hiruk-pikuk modernisasi dan globalisasi. Globalisasi mendatangkan kecemasan di antara kaum Muslim, bahkan juga kaum non-Muslim. Selama beberapa dekade terakhir, perubahan-perubahan politik, kultural, dan teknologi yang berasal dari Barat dalam skala luas telah menggoncangkan kehidupan masyarakat-masyarakat tradisional. Mereka merasakan perubahan yang sangat besar dalam rentang yang sangat luas dan menciptakan kebingungan dan keputusasaan. Fundamentalisme Islam muncul sebagai upaya resistensi terhadap pengaruh budaya global yang mengusung westernisasi.

Modernisasi sebagaimana disinyalir Hasan Hanafi, mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.

Dalam kehidupan kampus, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial. Akibatnya, gaya hidup permisif melanda kehidupan kampus. Generasi muda kampus banyak yang melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Gejala ini menurut Alfin Tofler disebut cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.

Modernisasi benar-benar telah menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Didalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, sebagaimana dikemukakan Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.

Semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme Kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.

Sinyalemen ini tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya. Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan. Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan.

Menurut gerakan-gerakan puritan ini, telah berlangsung tatanan kehidupan tidak Islami di kampus, yang disertai proses de-Islamisasi yang demikian keras melalui berbagai media. Ini menjadikan di satu sisi mereka tetap Muslim tetapi di sisi lain pikiran, perasaan dan tingkah lakunya – dalam cara berpakaian, bergaul, bermuamalah - telah banyak tercemari oleh pikiran, perasaan, dan tingkah laku tidak Islam yang kebanyakan bersumber dari khasanah pemikiran non Islam. Dari aspek budaya misalnya, berkembang westernisme yang berinti amoralisme, dengan tidak lagi memperhatikan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk seks bebas, pakaian tak senonoh, sepanjang tidak menganggu kepentingan orang lain. Bila tidak waspada, mahasiswa dan pemuda Islam masa kini akan dengan mudah terasingkan dari agamanya. Ajaran-ajaran Islam tentang pakaian, makanan, pergaulan, ekonomi, politik dan sebagainya, ditanggapi sebagai seruan yang asing lagi aneh.

Situasi ini yang mendorong gerakan-gerakan mahasiswa dalam bentuk kelompok dakwah dengan tujuan untuk mengembalikan mereka kepada identitas keislaman mereka yang sejati. Gerakan-gerakan dakwah ini mendasarkan pemikirannya pada teologi Islam yang bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an yang merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi dan perilaku kaum Muslim. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya. Namun terdapat persoalan yang dihadapi oleh gerakan-gerakan ini adalah adanya kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.

Gerakan Fundamentalisme Islam

Dan Politik Global

Fundamentalisme, yang sering digunakan untuk menyebut gerakan keagamaan dalam berbagai karya tulis telah menjadi istilah yang sangat populer dan bahkan kontroversial. Meskipun pada mulanya fundamentalisme menunjuk sebuah fenomena gerakan Kristen Protestan, namun sekarang istilah ini secara luas dipakai untuk menyebut gerakan yang muncul di kalangan Katolik, Islam, Yahudi, Hindu, Budha, dan Zoroaster. Nama fundamentalisme digunakan kaum fundamentalis Kristen ini untuk membedakan kelompoknya dengan kaum Protestan liberal yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan kembali dasar-dasar (fundamental) tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan panafsiran harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu.

Dalam sejumlah literatur, istilah fundamentalisme, revivalisme, atau neofundamentalisme Islam memiliki tafsiran yang sulit untuk dibedakan satu sama lain, yang semuanya merujuk pada fenomena "kebangkitan" gerakan Islam politik. John L. Esposito (1997) menyamakan istilah Islam politik dengan "fundamentalisme Islam" atau gerakan-gerakan Islam lainnya. Sementara Oliver Roy (1994) cenderung menafsirkan Islam politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai ideologi politik. Sedikit berbeda dengan Esposito, Roy lebih spesifik merujuk pada apa yang ia sebut sebagai gerakan neofundamentalisme yang antara lain menghendaki pemberlakuan syariat Islam.

Kebangkitan Islam atau revivalisme Islam muncul sekitar satu abad yang lalu sebagai respon terhadap terjadinya penaklukan dan transformasi di Asia dan Afrika Utara oleh kapitalis. Eropa. Kaum revivalis Islam berpandangan bahwa kolonialisasi hanya mungkin terjadi dikarenakan nilai-nilai dasar Islam telah dirusak oleh obsesi duniawi imperium-imperium raksasa abad pertengahan. Oleh karena itu regenerasi hanya mungkin bisa terjadi dengan membangkitkan kembali spirit dasar yang membangun Islam. Kadar dimana gerakan kebangkitan ini berupaya membangun kembali nilai-nilai mistik masa lalu atau menerima pengetahuan dan industri modern masih menjadi perdebatan di kalangan intelektual Islam.

Dasar Teologis kebanyakan gerakan-gerakan Islam fundamentalis dapat ditelusuri pada aliran pemikiran Islam, yang dikenal dengan Salafiya, yang meluas di seluruh dunia Arab di abad dua puluh. Para pembaru Salafy awal yakin mereka dapat memadukan gagasan-gagasan politik modern; sebagian dari mereka berpandangan bahwa demokrasi Barat sangat kompatibel dengan konsep shura dalam Islam. Meski demikian, ketika kekuatan kaum imperialis berhasil menjadikan sisa-sisa Imperium Ottoman menjadi beberapa negara bangsa setelah Perang Dunia I, banyak Salafi radikal mulai berpandangan bahwa Islam menghadapi ancaman karena derasnya pengaruh-pengaruh Barat yang bisa mengaburkan Islam dan mengembangkan gagasan bahwa budaya Barat sama dengan jahiliyah dan harus dihadapi dengan jihad.

Arus utama dalam gerakan Islam politik modern di Timur Tengah berlandaskan pada gerakan Ikhwanul Muslimin, atau Persaudaraan Muslim, yang didirikan di Masir oleh Hasan al Banna dan menyebar di beberapa negara. Gerakan ini berkembang menjadi gerakan massa di seluruh kawasan Timur Tengah pada tahun 1960-an. Mereka mengecam pemisahan agama dan negara dan bertujuan mendirikan negara teokratis.

Dengan demikian, fundamentalisme Islam pada hakekatnya adalah gerakan politik yang terdiri dari berbagai kelompok dan organisasi yang selain mendasarkan gerakannya pada teologi Islam juga sangat menginginkan kekuasaan negara atau berdirinya negara Islam. Secara teologis, Islam politik mencakup dua hal yakni progresif historis dan posisi yang reaksioner: yang pertama adalah penegasan bahwa prinsip Islam sejalan dengan nilai-nilai modern seperti demokrasi dan kebebasan, sedangkan yang kedua mendukung suatu "revolusi terhadap sejarah” dimana masyarakat Islam masa-masa awal menjadi tujuan yang diinginkan dan berusaha memutar kembali roda sejarah untuk mewujudkan kembali masa-masa ideal tersebut. Secara politis, Islamisme telah menunjukkan dua wajah yang reaksioner dan progresif.

Menurut pandangan kalangan fundamentalis ini, Islam sejak awal adalah agama politik. Nabi Muhammad sendiri adalah seorang pemimpin politik dan sekaligus pemimpin agama, dan para penerusnya, para khalifah, mengambill posisi yang sama dalam komunitas Islam.xvii[17] Dengan demikian Islam secara esensial adalah agama yang menggabungkan bangunan keagamaan dan politik dalam dirinya.

Lebih jauh, kebangkitan Islam politik tidak terlepas dari sejarah modern Dunia Muslim, yang ditandai oleh pengaruh Barat dan respon Dunia Muslim. Pada tahun 1924, Republik Turki yang baru berdiri, menggantikan imperium Ottoman, secara resmi menghapus kekhalifahan, dan mengadopsi kebijakan sekularisasi.xviii[18] Kekhalifahan Turki merupakan negara universal di dunia Muslim saat itu, namun mengalami kemunduran setelah Perang Dunia I menghadapi aliansi Barat. Hampir semua para pemimpin negara-negara Timur Tengah, yang baru saja melepaskan diri yang sebelumnya merupakan wilayah kekhalifahan Ottoman, berupaya mencoba memodernisasi negara mereka dengan meniru model di negara-negara Barat. Mereka berusaha mengikuti model negara sekular, dan mencoba menempatkan Islam hanya sebatas sebagai urusan pribadi belaka.

Dalam konteks inilah dalam mana gerakan-gerakan Islam mengandung aspek politis, dan selanjutnya mengarah pada kebangkitan Islam politik. Kelompok-kelompok Islam politik di masa sekarang sangat menentang kebijakan sekularisasi oleh pemerintah mereka, dan mendukung diupayakannya bentuk murni pemerintahan Islam. Mereka mengecam para elit yang memerintah sebagai telah menyimpang dari jalan Islam yang lurus, dan mengecam bahwa upaya-upaya modernisasi telah menjadikan pemerintah-pemerintah di dunia Muslim tidak lebih sebagai boneka yang meniru imperialis Barat. Bahkan lebih jauh, mereka berpendapat bahwa upaya-upaya modernisasi tersebut justru meletakkan basis sosial yang rusak dan keterbelakangan perekonomian negara-negara Muslim saat ini.

Oleh karena itu elemen posisi gerakan fundamentalisme Islam yang relatif konsisten adalah penolakan pada Barat dan semua yang dihubungkan dengan Barat. Bagi sejumlah aktivis Islam, seperti yang dikatakan para pengamat Barat, penolakan pada Barat ini merupakan aspek yang selalu ada dan mendasar dalam pola hubungan antara Islam dan Barat. Bagi sejumlah besar pemimpin Islam, penolakan yang resiprok pada pengaruh Barat merupakan pilihan yang mutlak, dan konsep kedaulatan rakyat, hukum mayoritas, dan demokrasi pluralitas dipandang sama dengan eksploitasi dan tidak adanya otentisitas.

Islam politik, merupakan gerakan yang menawarkan sebuah solusi terhadap kontradiksi-kontradiksi yang dialami oleh masyarakat Muslim di Dunia Ketiga, akan tetapi tidak mendapatkan dukungan dari berbagai segmen masyarakat. Gerakan ini cenderung mendapatkan pendukung utamanya dari kalangan borjuis awam: para pemilik lahan, para pengusaha dan pedagang menengah ke bawah yang terus menerus berada dalam tekanan para kapitalis lokal dan pemilik modal, kalangan yang tadinya adalah petani yang terpaksa mencari penghidupan di perkotaan dan menganggur dikarenakan penguasaan lahan pertanian oleh para kapitalis -mereka ini adalah kalangan yang takut, dan tersisihkan ketika berlangsungnya proses modernisasi kapitalis dalam masyarakat mereka.

Dewasa ini semua kelompok-kelompok Islam politik di berbagai negara Muslim bersama-sama menyuarakan ide dasar yang kurang lebih sama, meskipun ekspresi dan sarana untuk menerapkan ide-ide tersebut ke dalam realitas menunjukkan banyak perbedaan. Ide-ide dasar ini bersumber dari pikiran-pikiran figur-figur Islam terkemuka era modern, seperti Hasan Al-Banna (1906-1949), Abdul A’la Mawdudi (1903-1979), dan Sayyid Qutb (1906-1966). Ide-ide dasar tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Konstitusi Islam merupakan ideologi yang mencakup semua kehidupan sosial dan individual, dan mencakup negara dan masyarakat.

2. Quran, sebagai wahyu Tuhan, dan sunnah nabi Muhammad adalah dasar bagi kehidupan Muslim.

3. Hukum Islam (Syari’ah, “jalan” Tuhan) didasarkan pada Quran dan perilaku model Nabi, adalah cetakbiru kehidupan Muslim yang sakral.

4. Keyakinan terhadap etos Muslim untuk mewujudkan kembali kedaulatan Tuhan melalaui implementasi Hukum Tuhan akan membawa pada kejayaan, kekuasaan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Muslim dalam hidup ini dan juga akan mendapat ganjaran abadi di kehidupan berikutnya.

5. Kelemahan dan takluknya masyarakat Muslim pasti disebabkan oleh lemahnya keyakinan kaum Muslim, yang telah keluar dari jalan yang diwahyukan Tuhan dan lebih mengikuti jalan sekuler, ideologi materialistik dan nilai Barat atau kapitalisme Barat dan Marxisme.

6. Memulihkan kembali martabat, kekuasaan, dan pemerintahan Muslim (masa kejayaan kekhalifahan dan peradaban Islam masa lampau) serta perlunya kembali kepada Islam, penerapan kembali hukum Tuhan sebagai petunjuk bagi negara dan masyarakat.

7. Pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus sesuai dengan orientasi Islam dan diaraahkan dalam upaya menghindari westernisasi dan sekularisasi masyarakat Muslim.

Menurut Xiaodong Zhang, gerakan Islam politik di zaman modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama adalah kaum fundamentalis radikal. Mereka melancarkan permusuhan yang sengit terhadap otoritas mapan dengan menggunakan cara-cara teroris, seperti penculikan, pembunuhan, pemboman, dan lain-lain. Target mereka bukan hanya otoritas pemerintah mereka tetapi juga para wisatawan luar negeri, orang asing, para jurnalis, dan diplomat. Dalam pandangan mereka, pengaruh Barat menyokong pemerintah mereka yang dianggap dekaden, maka dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk membeda-bedakan dengan pemerintah lainnya.

Yang kedua adalah Fundamentalis moderat. Mereka lebih concern dengan kaum miskin, penduduk yang terbelakang dan memobilisasi massa melalui mesjid. Selain itu, mereka mendirikan sekolah, rumah sakit, kegiatan amal serta membangun infrastruktur lainnya. Dalam prakteknya, kaum fundamentalis moderat ini lebih berhasil ketimbang fungsi-fungsi pemerintah yang telah digulingkan.

Ketiga adalah fundamentalis legal. Mereka berharap untuk memasuki parlemen dan pemerintahan lokal secara legal, dan menyadari reformasi sosial serta Islam ideal di bawah sistem yang telah mapan. Di Aljazair, Islamic Salvation Front (FIS) hampir saja merebut kekuasaan jika saja kekuatan militer tidak mengganjalnya dalam pemilihan 1992. Di Lebanon, Hezbollah, Partai Tuhan, mencapai keberhasilan besar pada tahun 1992 dalam pemilihan parlemen.

Gerakan Mahasiswa Fundamentalis

Sebagai Gerakan Politik Ideologis

Gerakan fundamentalisme Islam atau Islam politik bukanlah sebuah fenomena yang lahir dari ruang vakum, akan tetapi adalah gerakan yang kemunculannya lebih pada latar belakang ideologi politik. Islam politik dewasa ini hadir dalam konteks sosio-ekonomi dan politik yang agak berbeda. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam politik merupakan produk langsung dari perkembangan historis belakangan ini ketimbang dengan kaitannya dengan faktor masa lalu. Dalam sudut pandang ini, Nikki Keddie mengatakan tidak ada hubungan antara kecenderungan Islam pra-kolonial dengan gerakan militan sekarang ini.

Dalam kaitannya dengan realitas politik internasional, fundamentalisme Islam sebagai counter atau upaya dedominasi geopolitik Islam atas Barat. Dalam pandangan Bassam Tibi, fundamentalisme merupakan gejala ideologis dari ide clash of civilization yang dikemukakan Huntington. Gejala ini bukan disebabkan krisis yang melanda dunia saat ini, tetapi lebih-lebih muncul baik dari espresi krisis yang melanda maupun respon atasnya.

Sedangkan faktor dalam negeri, banyak pengamat menunjukkan fakta bahwa kecenderungan ekonomi politik saat ini, serta kegagalan negara-negara Muslim dalam pembangunan sosial, politik dan ekonomi menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembang gerakan Islam politik. Lebih lanjut, Ankie Hoogvelt mengatakan bahwa kegagalan strategi pembangunan di negara-negara Muslim dalam masa neo-kolonialisme, ditambah lagi dengan episode globaliasasi saat ini, menguatkan gerakan kebangkitan Islam. Oleh karena itu kebangkitan Islam dapat dipahami dengan baik sebagai suatu bentuk identitas politik dalam merespon situasi yang ada.

Disebabkan ketidakmampuan para elit yang memerintah di sejumlah negara Islam dalam menangani persoalan-persoalan ekonomi dan sosial, pemimpin-pemimpin demokratis yang tidak jarang bersikap represif dan otoriter hanya menyisakan kekecewaan umum berupa korupsi, mismanajemen, serta ambruknya hukum serta tatanan masyarakat yang menyebabkan kaum intelektual dan kalangan muda terpelajar yang frustasi beralih menjadi lebih tertarik dengan slogan-slogan anti-pemerintah yang disuarakan oleh kelompok-kelompok Islam radikal.

Oliver Roy memiliki pandangan sendiri dalam melihat mengapa kaum intelektual terdidik mudah tertarik dengan gerakan-gerakan Islam politik radikal. Menurutnya, mereka adalah anak-anak muda yang berpendidikan bahkan berpendidikan universitas yang tidak melihat adanya kepastian masa depan yang sesuai dengan harapan atau visi mereka, baik di sektor pemerintahan ataupun di sektor industri. Oliver Roy nampaknya terlalu simplitis dalam memandang motif-motif kelompok ini. Namun demikian, analisisnya dapat menyediakan sudut pandang untuk memahami salah satu aspek penting gerakan Islam politik di kalangan muda terpelajar.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa motif kemunculan gerakan-gerakan fudamentalis lebih dari apa yang dikemukakan Oliver Roy. Kebangkitan-kebangkitan Islam abad 20 yang muncul di berbagai belahan dunia Islam mengambil atau memulai basis gerakannya di kampus-kampus. Mereka menggarap kampus dengan garapan yang serius, dan kurang memperhatikan kelompok masyarakat bawah (grassroot). Untuk mencapai tujuan gerakan diperlukan keberanian, tekad dan juga intelektualitas, yakni ketajaman pemikiran. Syarat ini dimiliki oleh kader di kampus yang memiliki kecedasan dan pola berpikir yang khas.

Gerakan-gerakan mahasiswa berhaluan fundamentalis bangkit dengan menawarkan ideologi Islam sebagai solusi alternatif. Ideologi yang dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) dianggap sebagai solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian.

Dalam pandangan mereka, Islam bukan hanya semata-mata agama melainkan juga ideologi yang telah menyediakan jawaban yang komprehensif untuk menggantikan kapitalisme saat ini yang dianggap hanya mendatangkan krisis kemanusiaan. Dalam konteks ini, gerakan-gerakan mahasiswa fundamentalis yang menyokong legislasi syariat Islam secara formal dan kerinduan pada khilafah Islamiyah menemukan relevansinya.

Tuntutan-tuntutan seperti ini cukup beralasan mengingat mereka sebagai kelompok terpelajar memiliki tingkat kepekaan yang tinggi atas situasi umat Islam di sekelilingnya. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mereka mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat dan banyak terlibat dengan pergumulan pemikiran, disamping sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa.

Gerakan Fundamentalisme

Di Kalangan Mahasiswa Islam

Beberapa tahun belakangan ini, di Indonesia geliat kehidupan kampus ditandai dengan menguatnya kembali gerakan mahasiswa Islam yang berhaluan fundamentalis. Fenomena ini dapat dipandang sebagai tampilnya generasi baru Islam, yang terefleksikan dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan kelompok-kelompok dakwah kampus (halaqah) yang banyak mengambil peran dalam berbagai momentum dan dinamika kampus.

Berbeda dari tampilan beberapa organisasi kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya, gerakan-gerakan ini seakan-akan mewakili sebuah spirit "Islam baru" yang mencerminkan "totalitas" dan "kesungguhan", baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik sosialnya. Pendek kata, KAMMI, misalnya, terlihat betul-betul ingin merefleksikan sebuah potret generasi muda Islam yang ideal, sebagai generasi yang sholeh, menjunjung tinggi moralitas Islam dalam berbagai aspek kehidupan (kaffah). Gerakan-gerakan ini tumbuh dan berkembang di berbagai kampus yang berlatarbelakang negeri dan umum.

Diantara gerakan-gerakan tersebut, sebagian didirikan oleh kelompok-kelompok yang sudah memiliki identitas keagamaan yang jelas. KAMMI, misalnya, merupakan metamorfosis dari Gerakan Tarbiyah. Gerakan ini adalah yang terbesar di Indonesia. Gerakan Tarbiyah bergerak melalui jaringan DKM kampus dan remaja-remaja masjid. Pada mulanya gerakan ini cenderung moderat hanya bergerak untuk meramaikan masjid dan membina para remaja, tapi pada saat bersamaan gerakan ini juga membina secara khusus sejumlah aktivis potensial yang direkrut dari masjid-masjid melalui kelompok-kelompok kecil yang dinamakan usrah yang terdiri dari 8-12 anggota dan dipimpin oleh seorang mursyid. Pada akhir tahun 80 an dan awal 90 an terjadi perubahan besar pada gerakan ini dan pertentangan antara kelompok yang menginginkan dakwah kultural dan tetap pada misi pembinaan remaja termasuk remaja bermasalah dengan kelompok yang menginginkan pola pencetakan kader-kader militan (dan radikal), pada akhirnya kelompok kedualah yang menang. Kemenangan ini juga ditandai dengan perebutan kendali di masjid Salman ITB pada tahun 1994. Kelompok ini di era reformasi bermetamorfosis menjadi partai politik dengan berdirinya Partai Keadilan.

KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini. Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan.

Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghiroh) tersendiri bagi KAMMI.

Pada akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.

Selain KAMMI, gerakan mahasiswa Islam lainnya yang bercorak fundamentalis adalah gerakan Hizbut At-Tahrir yang juga memiliki basis konstituen di kampus-kampus. Gerakan ini didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani di Yordania. Gerakan Hizb At-Tahrir memfokuskan gerakannya pada masalah khilafah serta kembalinya khilafah yang hilang. Gerakan ini beranggapan bahwa carut-marutnya kehidupan masyarakat saat ini karena diberlakukannya sistem kufur. Demokrasi dan HAM bertentangan dengan Islam, dan berpandangan bahwa tatanan masyarakat fase kehidupan Nabi di Madinah merupakan tatanan masyarakat yang ideal yang harus diwujudkan saat ini dalam naungan khilafah atau Daulah Islamiyyah. Model gerakan ini adalah ekstra parlementer dalam artian tidak mendirikan partai politik dengan melakukan pendekatan pembinaan pemikiran di kalangan mahasiswa. 
Gerakan fundamentalis lainnya adalah Gerakan Salafy. Gerakan yang mengusung pemikiran Wahabisme ini sebetulnya pernah muncul di Indonesia pada abad 19. Di Minangkabau kemunculan kelompok ini menimbulkan perang terbuka dengan kalangan muslim lain yang tidak sepaham yang dikenal dengan perang Paderi yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Paham ini dalam versinya yang lebih moderat dianut oleh ormas keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis) yang mempunyai basis di Bangil dan Bandung. Pada pertengahan tahun 80-an, kelompok Wahabi radikal mulai berkembang. Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus” (HAMMAS) Indonesia dapat dimasukkan dalam kelompok gerakan ini.

Catatan Penutup

Gerakan fundamentalisme sebagai fenomena global yang baru dalam politik internasional bukan semata-mata persoalan interpretasi teologis, akan tetapi lebih dari itu menyangkut kondisi sosial ekonomi dan politik. Problem kepemimpinan yang dihadapi negara-negara Muslim serta demokrasi yang tak kunjung membawa perbaikan di dunia Muslim, berujung pada kekecewaan luas. Dalam krisis seperti ini agama selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologi. Demikian juga sebaliknya, ideologi yang ingin memantapkan posisinya cenderung menempuh jalan untuk memberi warna keagamaan kepada dirinya. Gejala fundamentalisme Islam adalah contoh bagaimana agama dipahami secara ‘ideologis’. Interpretasi ajaran yang dianggap paling sahih adalah sumber-sumber awal.

Sementara itu kalangan mahasiswa fundamentalis yang menyokong legalisasi syariat Islam atau upaya penegakan khilafah, selalu merujuk kehidupan Islam awal sebagai tatanan sosial kemasyarakatan yang ideal untuk memperbaiki kondisi saat ini dan untuk mewujudkan masa depan yang penuh harapan. Pandangan ini tidak terlepas dari pemahaman teologis mereka. Pada sisi positif, dorongan yang ada dibalik keinginan ini adalah normal dan baik. Ini terkait dengan salah satu asumsi dasar yang ada pada semua tradisi agama: ada sesuatu yang benar-benar salah (di sini dan kini). Setiap agama didasarkan atas gagasan bahwa ada sesuatu yang salah. Aspirasi dan tuntutan seperti ini sama sekali tidak memperhatikan tantangan yang dihadapi di tengah kenyataan yang telah berubah dan visi masyarakat yang pluralistik.

Di beberapa negara, gerakan-gerakan atau upaya seperti ini selalu berujung pada kegagalan. Berkenaan dengan kondisi ideal tadi, ketika yang diharapkan ini terkait dengan pandangan dunia suatu agama dan orang-orang yang ingin mengimplementasikan visi tersebut yakin bahwa mereka mengetahui apa yang diinginkan Tuhan bagi mereka dan orang lain, maka seperti dikatakan Charles Kimball, bencana tinggal menunggu waktu.

Secara tradisional, kalangan mahasiswa fundamentalis memahami Islam lebih dari sekadar agama. Islam adalah suatu jalan hidup komprehensif yang meliputi dimensi spiritual, sosial, ekonomi, politik, dan militer. Ini selaras dengan keinginan kaum Muslim di berbagai tempat selama berabad-abad yang telah berusaha mencari sistem pemerintahan, sosial, hukum, dan ekonomi dengan mengacu kepada format yang secara teoretis ideal. Dibanyak negara dengan mayoritas Muslim, masyarakat cenderung merasa bahwa sistem politik, ekonomi, dan sosial, yang ada telah gagal. Ketika sebagian besar jalan bagi perubahan politik tampak tertutup, mereka semakin tertarik dengan gerakan Islam revolusioner. Namun, meskipun banyak orang Muslim memiliki visi yang sama bahwa Islam dapat memberikan kerangka bagi masyarakat mereka masing-masing, tidak ada konsensus yang pasti tentang seperti apa seharusnya negara Islam itu. Oleh karena itu tuntutan-tuntutan seperti tersebut di atas sangat sulit terwujud jika tidak dikatakan utopis. œ